[REVIEW BUKU] : LAUT BERCERITA - LEILA S. CHUDORI

9:58 PM Nova Zakiya 10 Comments


Identitas Buku
Judul: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit: Cetakan Kedua, Desember 2017
Jumlah Halaman: x + 379 halaman

Sinopsis
Jakarta, Maret 1998
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.
Jakarta, Juni 1998
Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu Sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.
Jakarta, 2000
Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.

Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.

Setelah Membaca...
Saya mengenal Leila S. Chudori dari novel Pulang, sebuah novel fiksi berlatar belakang sejarah Indonesia usai peristiwa Gerakan 30 September 1965. Saya pribadi memang menyukai buku buku yang berlatar belakang sejarah, karena biasanya mereka menyajikan cerita dari sudut pandang yang berbeda mengenai apa yang terjadi di Indonesia. Berbeda dengan apa yang kita dapat di sekolah yang mungkin tidak pernah terungkap di media. Oh ya, juga tidak terasa menggurui. Bedanya dengan novel sebelumnya yang lebih banyak bercerita mengenai kehidupan para eksil politik, di novel Laut Bercerita, Leila berkisah tentang mereka, para aktivis dan mahasiswa, yang hilang dan yang kembali pada saat Orde Baru dengan latar kerusuhan 1998.
Booksigning karya Leila S. Chudori. Saya akan cerita soal Pulang di cerita selanjutnya ya. InsyaAllah hehe
Kalau boleh jujur, di awal sebenarnya saya kurang tertarik untuk membeli buku ini, karena dari cover agak kurang bikin merinding seperti novel Pulang (saya dapet yang cover warna merah cetakan kedelapan haha). Tapi sepertinya saya akan jauh lebih menyesal kalau waktu itu nggak jadi beli. Karena pas dibaca ternyata nyesss.

Beberapa review yang saya baca tentang buku ini (sebelum akhirnya saya memutuskan untuk membawanya ke meja kasir) menyatakan bahwa Laut Bercerita nggak ‘se-greget’ Pulang. Tapi menurut saya, kedua buku ini memiliki kadar ‘greget’-nya masing-masing. Mungkin soal Pulang akan saya tuliskan lain waktu (padahal belinya duluan Pulang).

Seperti judulnya, Laut Bercerita ternyata benar-benar Laut yang bercerita. Tokoh utama novel ini bernama Biru Laut, seorang mahasiswa Sastra Inggris di Yogyakarta yang turut bergabung dengan Winatra, organisasi mahasiswa yang memihak pada kaum kecil seperti buruh dan petani. Dengan segala kegiatannya yang dianggap menentang pemerintahan kala itu, Laut bersama teman-teman se-Winatra dan Wirasena (induk Winatra) harus hidup dalam persembunyian. Terlebih setelah Winatra dianggap sering menjadi dalang kerusuhan, salah satunya peristiwa Sabtu Kelabu (kerusuhan di kantor DPP PDI Jalan Diponegoro). Tak hanya itu, pemerintah juga secara terang-terangan memasukkan aktivis Winatra dan Wirasena sebagai buron.

Cerita di buku ini memang fiksi, tapi rasanya hidup dalam kejaran aparat itu nyata. Dalam bab Biru Laut, kita diajarkan tentang perjuangan dan pengkhianatan. Iya. Pas momen orang yang dipercaya ternyata menjadi ‘antek’ aparat, itu kok rasanya sakit ya. Sedih. Tapi emosi justru memuncak di bab Asmara Jati, yang mengajarkan kita tentang kehilangan dan juga penyangkalan. Bagaimana orangtua Biru Laut masih berada dalam ‘kepompong’ yang mereka buat sendiri, menyangkal bahwa anaknya sudah tidak ada dengan terus menerus menyiapkan piring untuk Laut saat makan bersama. Bagaimana Asmara Jati, sang adik, mencoba untuk mengajak kedua orangtuanya ‘keluar dari kepompong’ dan menghadapi kenyataan yang ada, bahwa Mas Laut hilang dan tak akan pernah kembali. Di bab ini, saya lebih banyak menghabiskan tissue untuk menyeka air mata. Karena momen penyangkalan dan kehilangannya terasa sangat nyata.

“Dan yang paling berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia dan ketidakpastian. Kedua orangtuaku tak pernah lagi tidur dan sukar makan karena selalu menanti “Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih enak makan bersama”. – Asmara Jati (p. 245)

Menonton Film Laut Bercerita
Setelah selesai membaca, saya pun mengulas secara singkat buku ini di instastory saya. Dan teman saya langsung memberitahu bahwa ada film pendek tentang buku ini (saya terlalu fokus pada bukunya sampai tidak memantau instagram penerbitkpg). Dengan segala ke-drama-an telat daftar screening film, akhirnya saya dapat kuota untuk join di acara screening + booksigning di Paviliun 28 tadi sore (17/1).

Jujur saja, saya tidak berharap terlalu banyak dengan film ini. Pertama, cerita dari novel pasti tidak akan sama persis dengan filmnya. Kedua, film ini hanya berdurasi 30 menit 5 detik, jadi pasti akan diseleksi secara ketat scene mana saja yang akan dimasukkan ke dalam film. Dan ternyata...
Sejak awal lampu dimatikan, suara Reza Rahadian sebagai Biru Laut mulai ‘bercerita’ sudah mulai memancing emosi saya. Apalagi beberapa scene yang dipilih merupakan kilas balik kehidupannya bersama keluarga, makan bersama di hari Minggu, dan berbagai penyangkalan dari keluarga juga Anjani, kekasih Laut, yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo. Ya, film ini memang lebih mengangkat sisi keluarga yang ditinggalkan oleh ‘mereka’ yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya (bahkan makamnya jika memang sudah meninggal). Ini menjadi satu poin plus di mata saya karena tak banyak film yang mengangkat tema ini (biasanya lebih menceritakan soal tragedi 98-nya).
Cuplikan scene di film Laut Bercerita
Beberapa menit sebelum film berakhir, Prita (sutradara), Wisnu (produser) dan Gita (produser), juga memasukkan scene aksi Kamisan yang mungkin banyak diantara kita yang tidak tahu akan adanya aksi tersebut. Sekedar informasi, aksi ini diikuti oleh keluarga korban ‘penghilangan paksa’ dan juga KontraS sebagai bentuk perjuangan mengungkap fakta kebenaran, mencari keadilan dan melawan lupa, yang ditujukan kepada Presiden RI. Aksi ini digelar setiap hari Kamis, di depan istana Presiden, dengan mengenakan pakaian serba hitam dan juga membawa payung hitam.
Naskah film ini juga ditulis oleh Leila dan dia kembali berhasil mengoyak emosi kami sebagai penonton. Sayangnya, adegan yang saya harap ada, yaitu saat Laut bertemu dengan Gusti di penjara (Gusti memotret Laut yang sedang disiksa) tidak ada dalam film. Padahal saya membayangkan rasa sakit Laut dikhianati orang yang ia percaya bisa digambarkan dalam film ini. Tapi sekali lagi, seperti yang Prita sampaikan, ia memang berfokus pada sisi keluarga yang ditinggalkan dan memangkas adegan penyiksaan di penjara. Ya tapi segitu aja emosinya udah terkoyak sih. Huff
"Yang penting kita ingat... setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi, tapi apa pun yang kamu alami di Blangguan dan Bungurasih adalah sebuah langkah. Sebuah baris dalam puisimu. Sebuah kalimat pertama dari cerita pendekmu..." - Kinan kepada Laut (p. 183)

Diskusi Singkat bersama Leila S. Chudori
Diskusi bersama Mba Leila, Mba Prita, Mba Gita dan Mas Wisnu
Dalam diskusi singkat usai pemutaran film, Leila bercerita bahwa buku ini berangkat dari kisah Nezar Patria, salah satu aktivis korban penculikan 1998. Dalam sebuah tugasnya sebagai jurnalis yang turut merangkum satu edisi khusus mengenai Soeharto (bagian pelanggaran HAM), setelah Majalah Tempo akhirnya bisa berkarya lagi, ia meminta Nezar bercerita lebih detail, dengan melibatkan perasaan, dan sudut pandang orang pertama. Menurut Leila, tulisan Nezar yang dimuat di Tempo minim edit dengan judul Di Kuil Penyiksaan Orde Baru (Tempo Edisi Khusus Soeharto, Februari 2008).
Tahun 2013, Leila mulai meriset kembali dan mewawancarai lebih mendalam Nezar Patria, Budiman Sudjatmiko, Wilson dan beberapa aktivis 98 yang ditangkap namun dibebaskan. Ia juga mewawancarai keluarga yang ditinggal tanpa pernah tahu bagaimana nasib anak atau saudara mereka yang diculik. Dan juga wawancara dengan KontraS yang kisahnya banyak tertuang di bab Asmara Jati.
Sub bab Blangguan menjadi bagian yang paling sulit bagi Leila, karena dirinya tidak pernah mengalami kejadian serupa, ‘perjuangan aktivis mendampingi petani yang lahannya diambil paksa oleh pemerintah’. Tapi selain itu, Leila mengaku agak sulit menggambarkan para tokoh yang usianya terpaut jauh dengan Leila (mengutip ucapannya ya hehe), usia 20-an, namun dengan latar kejadian tahun 90-an dan dengan kisah romance-nya juga sih.
Sesi booksigning bersama Mba Leila
Semula, Leila akan meletakkan bab dengan sudut pandang sang Ibu setelah Bab Biru Laut selesai. Tapi kemudian ia memilih sudut pandang Asmara Jati yang lebih realistis logis. Kebayang nggak sih kalau bab Asmara Jati aja sudah bikin sesenggukan, bagaimana jika sudut pandangnya menjadi sang ibu? Duh bisa nggak kuat bacanya.
“Di dalam kepedihan dan luka, saya harus tetap berfungsi. Dan tokoh Asmara Jati mewakili suara saya,” – Leila S. Chudori

Jadi kesimpulannya...
Jika kalian memang menyukai novel fiksi maupun nonfiksi yang berlatar belakang sejarah, saya rekomendasikan buku ini untuk kalian. Membaca buku ini, secara tidak langsung, mengenalkan saya dengan para aktivis 98 yang menjadi korban ‘penculikan paksa’, baik yang kembali maupun yang tidak, dalam sosok masing-masing karakternya. Leila memang tidak mencoba merangkai segala keriuhan Orde Baru secara utuh. Namun dengan mengambil kisah satu aktivis bernama Biru Laut, Leila berhasil menggambarkan apa yang terjadi, memancing emosi, terutama dari sisi keluarga yang ditinggalkan, juga menambahkan bumbu persahabatan, cinta dan juga pengkhianatan. Laut memiliki nyawa dan dia hilang serta meninggal dengan cara yang tidak sederhana. Rating dari saya, baik novel maupun filmnya, 8 dari 10 ya.
Selamat membaca!
Foto bersama Mba Leila after booksigning. Senang kalau ketemu penulis yang cerdas tapi tetep hangat kepada siapa saja hehe

XOXO!

Za

10 comments:

  1. asiknya udah nonton filmnya. di behind the scene keliatan ada adegan ayah laut disuruh telpon di bawah tekanan intel

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bang haha gantiin temen yang ga bisa dateng soale aku ndak dapet kuota huff. Nanti ada lagi Februari bang di Salihara tanggal 21 kalo ga salah. Filmnya ambil sepotong potong scenenya sih, tapi karena udah baca bukunya, jadi makin dapet feelnya pas nonton :(

      Delete
  2. UF, Harus beli dan baca nih ....
    aku juga ngefans berat ke Leila Chudori, sejak tulisannya beredar di Kawanku dan Hai :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. cus dibeli worth it kok kaya aku hehe. oh ya, bakal ada pemutaran film lagi tanggal 21 februari nanti di salihara. lumayan kuotanya sepertinya bakal lebih banyak ketimbang yang di paviliun kemarin hihi

      Delete
  3. Sempet penasaran tentang buku ini. Awalnya kukira "laut" di sini adalah "laut dalan makna harfiah". Setelah baca resensinya, ternyata laut nama orang, hehe!
    Cukup menarik sepertinya nih buku, cek-cek dulu di grameds terdekat ah ;p

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah sama mba! aku juga kira begitu. ternyata laut bercerita itu ya bener bener laut sebagai tokoh utama yang bercerita. bagus. suka hehe

      Delete
  4. selalu suak dg penulis ni sejak aku remaja

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah sayang banget ya aku baru tau pas udah kerja. telat sih, tapi kayanya akan nyesel kalo nggak baca karyanya ya hehe

      Delete
  5. haii mbak, pas banget lagi nyari review buku laut bercerita, aku salah satu penggemar karya nya mbak Leila,,, setelah cinta mati sama "Pulang".. thanks a lot review nya.. laaaffff ^.^

    ReplyDelete