[REVIEW BUKU] : RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI - YUSI AVIANTO PAREANOM

9:55 PM Nova Zakiya 1 Comments



Identitas Buku
Judul : Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi
Penulis : Yusi Avianto Pareanom
Penerbit : Banana
Tahun Terbit : Cetakan Kedua edisi Kedua, Oktober 2017
Jumlah Halaman : 470 halaman

Sinopsis
Sungu Lembu menjalani hidup membawa dendam. Raden Mandasia menjalani hari-hari memikirkan penyelamatan Kerajaan Gilingwesi. Keduanya bertemu di rumah dadu Nyai Manggis di Kelapa. Sungu Lembu mengerti bahwa Raden Mandasia yang memiliki kegemaran ganjil mencuri daging sapi adalah pembuka jalan bagi rencananya. Maka, ia pun menyanggupi ketika Raden Mandasia mengajaknya menempuh perjalanan menuju Kerajaan Gerbang Agung.
Berdua, mereka tergulung dalam pengalaman-pengalaman mendebarkan: bertarung melawan lanun di lautan, ikut menyelamatkan pembawa wahyu, bertemu dengan juru masak menyebalkan dan hartawan dengan selera makan yang menakjubkan, singgah di desa penghasil kain celup yang melarang penyebutan warna, berlomba melawan maut di gurun, mengenakan kulit sida-sida, mencari cara menjumpai Putri Tabassum Sang Permata Gerbang Agung yang konon tak pernah berkaca – cermin-cermin di istananya bakal langsung pecah berkeping-keping karena tak sanggup menahan kecantikannya, dan akhirnya terlibat dalam perang besar yang menghadirkan hujan mayat belasan ribu dari langit.
Meminjam berbagai khazanah cerita dari masa-masa yang berlainan, Yusi Avianto Pareanom menyuguhkan dongeng kontemporer yang memantik tawa, tangis, dan maki-makian Anda dalam waktu berdekatan – mungkin bersamaan.

Setelah membaca...
Sebelumnya, saya mau mengakui satu hal. Membaca dongeng dengan latar belakang sejarah kuno (setting kerajaan-kerajaan) sebenarnya tidak terpikirkan oleh saya. Saya memang suka buku dengan setting sejarah Indonesia, tapi kaya sebatas latar sejarah tahun 1965 atau Orde Baru, seperti koleksi buku saya selama ini. Well, buku Raden Mandasia ini direkomendasikan oleh teman saya, Mas Fahmi, saat saya meminta rekomendasi buku bacaan di Instagram (iya, buku saya sudah habis dibaca huff).
Ada tiga buku yang direkomendasikan oleh teman-teman saya kala itu yang menarik perhatian. Dua diantaranya saya dapatkan di toko buku Gramedia. Nah si Raden Mandasia ini nggak nemu, bahkan pas dicari sama CS Gramed juga nggak ada. Usut punya usut, ternyata ini buku indie, guys! Saya pun akhirnya membeli buku ini di Post (via Instagram). Harganya 85K kalau nggak salah.
Semula saya berpikir bahwa Raden Mandasia lah main character-nya dalam buku ini, tapi ternyata buku ini lebih banyak menggunakan sudut pandang si Sungu Lembu. Semuanya malah. Ya, Sungu Lembu pemeran utamanya. Cerita dibuka dengan pengalaman mereka (Sungu Lembu bersama Raden Mandasia) yang dikejar prajurit setempat setelah mencuri daging sapi. Ini adalah kebiasaan ganjil yang dimiliki oleh Raden Mandasia. Memotong daging sapi hidup-hidup dengan cara yang tak biasa (bukan menyembelih ya), kemudian mengambil bagian lulur atau daging yang tepat berada di kiri-kanan punggung tengah (has dalam, has luar, dan daging yang menempel pada tulang yang berbentuk beliung kecil), menata rapi sisanya, lalu meletakkan sejumlah uang perak ataupun emas layaknya membayar daging.
Beneran unik sih, soalnya Raden Mandasia itu salah satu pangeran di kerajaan Gilingwesi. Ayahnya, Prabu Watugunung, seorang raja yang diyakini memiliki kesaktian dan kekuatan saat berperang. Gilingwesi sendiri menguasai kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya (layaknya menjajah). Nah, Banjaran Waru, tempat tinggal Sungu Lembu, juga (pada akhirnya) dikuasai oleh Gilingwesi (tanpa perang perebutan wilayah). Banyak yang tidak terima, termasuk Sungu Lembu dan beberapa saudaranya. Hingga akhirnya kejadian di rumah Banyak Wetan (paman Sungu Lembu) membuat dirinya membawa dendam terhadap Watugunung. Ia bertekad untuk memenggal kepala si Watugunung.
Perjalanan Sungu Lembu nggak selamanya mulus. Berkelana dari satu tempat ke tempat lain, menyamarkan identitas, sampai akhirnya bertemu Nyai Manggis di Kelapa. Di Rumah Dadu milik Nyai Manggis inilah, Sungu Lembu bertemu Raden Mandasia hingga akhirnya mereka berkelana bersama ke Gerbang Agung demi mewujudkan misi Raden Mandasia yang sebenernya ‘kentang’. Di Kelapa sendiri banyak kejadian dan peperangan (yang mengakibatkan Nyai Manggis meninggal). Tapi pengalaman setelahnya juga nggak kalah bikin deg-deg-an. Ya kurang lebih seperti yang tertulis di sinopsis deh sampai akhirnya ketemu Putri Tabassum juga. Hehe.
"Dunia milik orang yang berani, demikian kata seorang pujangga Atas Angin yang pernah kudengar..." (p. 72)
Alur, penggambaran dan cara bercerita dari Yusi Avianto sendiri smooth banget (biar maju-mundur-maju), jadi mudah dimengerti. Pas baca, di otak tuh semacam langsung kebayang adegan demi adegannya (settingannya di otak saya sih kaya film-film kerajaan di Indosiar haha). Masing-masing bab dan sub bab juga nggak begitu panjang jadi enak bacanya. Mengalir gitu. Hehe.
Jangan bayangkan ini dongeng yang bisa dibacakan ke anak-anak sebagai pengantar tidur, karena sejatinya ini novel ‘dewasa’. Tapi dari segi diksi, karakter tokohnya yang kuat, deskripsinya, humor, dan plot twist-nya, buku ini bikin begadang. Karena mau berhenti baca, tapi penasaran kelanjutannya. Ujungnya tidur jam 2 pagi haha. Banyak kejutan di dalamnya yang bener-bener nggak bisa ditebak. Sesekali bikin ketawa juga kesel.
Yang paling nggak disangka dari membaca buku ini itu adalah... saya nangis. Hahaha. Jadi di satu momen perang besar antara kerajaan Gilingwesi dan Gerbang Agung, Raden Mandasia akhirnya meninggal karena terluka saat bertarung. Emosi Sungu Lembu bener-bener tersampaikan, betapa sedihnya dia ditinggalkan ‘kawan berpetualang’. Padahal semula, dia lumayan sebal dengan Raden Mandasia karena kebiasaannya yang ganjil dan juga dirinya yang merupakan putra Watugunung, dendamnya selama ini. Cara Sungu Lembu me-recall pengalaman dan petualangan mereka bersama itu... sedih.
"Kemenangan terhebat dalam pertempuran justru ketika kita tak perlu lagi mengangkat senjata. Masih ada lagi: tak ada senjata yang lebih tajam ketimbang akal, tak ada perisai yang lebih ampuh ketimbang nyali, dan tak ada siasat yang lebih unggul ketimbang hati." (p. 88)
Seperti yang saya bilang, buku ini suka memberi kejutan yang tak disangka. Dan ini terjadi di bagian akhir cerita. Sungu Lembu yang akhirnya bertemu kembali dengan ‘pengalaman pertama’-nya. Itu nggak terpikirkan oleh saya sih. Saya kira tokoh itu hanya selewat saja haha. Bahkan kalimat terakhirnya bikin penasaran lho sampai saya googling cerita itu haha. Kali aja kan ini cerita asli tapi pake nama-nama kiasan (kaya nama tempat atau kerajaan gitu), tapi yaaa ini hanya dongeng, guys!
Saya sih cukup kaget dengan buku ini. Saya nggak expect apapun pas baca, tapi membacanya sampai selesai bener-bener membuat saya puas (dan ketagihan). Ini buku dengan genre silat-kolosal pertama yang saya baca. Saya sih rekomendasiin ke kalian buku ini. Serius. Ini seru. Baca deh. Kalau dikasih nilai, saya sih kasih nilai 9 dari 10. Yeay!
Anyway, selamat membaca ya!

XOXO!
Za

1 comments:

Wisata Gardu Pandang Sri Gunung Batang

10:00 PM Nova Zakiya 2 Comments


Beberapa hari sebelum saya cuti buat pulang ke rumah, partner travelling saya, Ayu, tetiba mengirim pesan yang dilengkapi foto ber-caption, “nggak pulang, Mbak?”. Foto itu tak lain dan tak bukan adalah tempat wisata yang lagi happening di Batang, Jawa Tengah. Salah satunya adalah wisata gardu pandang Sri Gunung yang terletak di daerah Banyuputih. Hmmm. Sepertinya jauh pemirsa. Tapi tak apa, karena foto yang lainnya saya sudah pernah kesana, kayak Sikembang Langit yang tambah obyek fotonya gitu deh. Plus, saya di rumah cuma 4 hari, jadi ndak bisa menjelajah banyak-banyak karena lebih pengen banyak di rumahnya aja.
Di sela 4 hari itu, akhirnya diputuskan untuk meninjau (ceilee ninjau banget haha) kawasan Sri Gunung pada hari Sabtu (24/3), pas Ayu libur. Tadinya, orangtua saya juga pengen ikut (pengen liburan sama anaknya huhu), hanya saja batal karena ada kewajiban lain. Huff.

How to go there...
Memang kawasan wisata ini kayaknya lagi ramai jadi perbincangan netizen di Batang, karena hampir semua akun wisata Batang posting-nya foto-foto wisata di Sri Gunung. Yahaha makin penasaran dong ya. Di bayangan saya dari cerita Abah (re: bapak saya), lokasinya ini jauuuuuh banget. Dan ternyata setelah dijalani. Memang jauh, guys!
Saya dan Ayu berangkat dari rumah sekitar jam 8.30-an gitu, naik motor biasa. Dengan kecepatan rata-rata 50-60 km/jam, kami sampai lokasi itu sekitar jam 9.40 WIB (patokannya kami berangkat dari Alun-Alun Batang aja itung waktunya haha). Tapi itu diselingi macet sedikit karena ada muatan truk yang jatuh dan juga isi bensin. Saya pribadi memang agak ngeri-ngeri sedap sih kalau mau ngebut, soalnya banyak truk atau bus-bus besar yang melintas juga di jalan utama. Iya, ini di jalur Pantura. Yang buat mudik itu. Haha.
Kalau masih kecil kecil gini pohonnya, pertanda sudah masuk Desa Kedawung nih
Kalau kalian pernah baca cerita saya tentang wisata Jembatan Buntu Sengon di Subah, nah itu masih lanjut lagi ke timur. Atau lebih gampangnya, jalur Pantura arah ke Semarang deh. Patokannya Terminal Banyuputih (di sebelah kanan jalan kalo dari arah Barat ya) sama Pos Polisi 03 Polres Batang (di kiri jalan). Nah nggak jauh dari situ, setelah lewat jembatan, ada sebuah jalan ke kiri yang ada petunjuk jalan ke Sri Gunung gitu. Masuk ke dalemnya kurang lebih 1,5 km. Kanan kiri isinya pepohonan jadi berasa naik motor di tengah hutan gitu sampai ketemu tanda masuk Desa Kedawung. Udah sampai? Tentu belum dong haha.
Namanya juga Gardu Pandang, otomatis lokasinya ada di atas bukit. Jadi setelah ketemu tanda masuk desa, ada penunjuk jalan lagi yang mengarahkan kita untuk berbelok ke kanan menaiki bukit. Jalannya lumayan terjal dan curam. Kalau dilihat sih sepertinya hanya muat 1 mobil aja. Beneran kudu hati-hati sih naiknya karena jalannya belum terlalu mulus. Beberapa masih jalur tanah gitu. Butuh konsentrasi yang tinggi!
Kondisi jalanan di bawah nih sebelum menanjak curam
Kondisi jalanan di atas hampir sampai yuhuuu
Kurang lebih 500 meter naik ke atas bukit itu, sampailah kita ketika kita melihat ada tulisan Sri Gunung yang tentu saja jadi objek foto utama pengunjung (seperti di foto pertama saya yang di atas itu) haha.

Tentang Biaya Masuk dan Parkir
Baru lewat 10 menit dari jam setengah 10, tapi parkiran motor sudah cukup ramai saat itu. Ada beberapa mobil juga sudah terparkir di area tersebut. Benar-benar lagi hits ini sih! Kalau menurut pedagang di area itu (tempat saya jajan bakso bakar), wisata Gardu Pandang Sri Gunung ini memang buka dari jam 6 pagi untuk hari biasa dan dari subuh kalau weekend. Katanya, ngejar sunrise gitu. Hmmm. Kalau tutupnya, biasanya sih Maghrib itu udah mulai sepi. Iya sih, kayanya kalau malem agak agak serem gimana gitu naik ke atas bukitnya, soalnya minim penerangan.
Untuk parkir dan biaya masuk sendiri, kami dikenakan Rp 8000,- dengan rincian Rp 2000,- untuk parkir motor dan Rp 3000,- untuk biaya masuk seorang (karena kami berdua jadi kena Rp 6000 gitu lho hihi). Yaaa masih terhitung murah lah ya.

Ada Apa Aja sih di Sri Gunung?
Ada banyak bunga. Hahaha. Dari awal masuk, memang kita sudah disambut hamparan bunga jengger ayam lilin atau nama latinnya Celosia argentea berwarna merah dan kuning. Ada bunga matahari juga sih, tapi nggak sebanyak jengger ayam lilin ini.
Masih di area pintu masuk, ada semacam papan penunjuk gitu tentang apa saja yang ada di kawasan ini. Seperti, ada gardu pandang (iya dong kan namanya Wisata Gardu Pandang Sri Gunung), jembatan cinta, taman lope-lope dan area madiyang (kayaknya sih plesetan untuk area makan gitu). Untuk menjangkau ke area-area tersebut (kecuali area makan ya), kita sudah disambut tangga-tangga yang menanti untuk kita tapaki.
Soal pemandangan, beuh jangan ditanya. Selain bisa berfoto dengan bunga-bunga yang ada di sini (tentu jangan diinjak apalagi dirusak ya), kita juga bisa berfoto dengan pemandangan hamparan perbukitan di belakang yang hijau. 
Niatnya pengen bikin foto ala ala Rich Brian di MV Glow like dat. Tapi apa daya bunganya nggak sebanyak itu hihi
Sejauh mata memandang~~~
Foto dengan background ini butuh effort, eh lebih tepatnya kesabaran karena fotonya diambil di Jembatan Cinta dan objek foto yang ini favorit banget sehingga antreannya lumayan panjang (buat gantian). Gimanapun juga demi keselamatan, jembatan ini maksimal bisa dinaiki hanya 20 orang. Ya intinya, kalau sudah terlihat penuh disitu, jangan dipaksain naik cuma demi foto yang indah ya! Utamakan keselamatan~
Supaya tidak tertiup angin kencang haha
Maka inilah yang dinamakan jembatan cinta, guys 
Butuh properti buat foto di jembatan? Tenang semua ada haha
Soal fasilitas, ada banyak saung-saung gitu untuk kita istirahat misal kalau capek. Tapi, dengan jumlah pengunjung yang cukup banyak begini, ya jangan berharap banyak aja bisa dapet salah satu saungnya buat leyeh leyeh.
Nah ini taman lope lope nya nih haha
Jangan sedih, karena masih ada bangku bangku juga sih kalau ndak dapet saung.  Terus ada juga flying fox di area ini. Sayangnya, pas saya kesana, ndak operasi gitu flying fox-nya karena nggak ada yang jaga haha.
Tempat sampah dan pemberitahuan untuk tidak membuang sampah sembarangan dan merusak tanaman juga sudah cukup tersedia di area ini. Udah gitu, ndak perlu repot mikirin mau sholat dimana karena tersedia mushola juga di area ini. Mau ke toilet? Ada juga dong. Jadi lumayan lengkap sih.
Nah kalau udah banyak energi yang terbuang karena naikin tangga-tangga (lebay haha) dan foto-foto, kita bisa mampir ke warung-warung yang tersedia disini. Mulai dari cemilan macem ciki-cikian, makan berat sampai minuman es juga ada dong. Ndak perlu khawatir kelaperan pokoknya sih hihi.
Kalau laper makan ya, jangan tawa tawa aja haha

Pesan dan Kesan...
BAGUS. Tapi beberapa ndak sebagus di foto sih haha. Gimana angle fotonya aja ternyata. Saya quote kalimat ini dari pedagang bakso bakar tempat saya jajan. Katanya, “ini karena masih rame aja neng di Instagram, orang pada update disini. Padahal tempatnya ya cuma segini,”.
Iya sih memang cuma segitu dan obyek fotonya juga itu itu aja, tapi menurut saya lumayan lah untuk refreshing sekali-kali pas lagi di rumah. Mata bisa dimanjain dengan pemandangan yang berwarna-warni, dikelilingi nuansa alam, dan kalau jeli kita bisa liat Laut Jawa lho dari tempat ini! Maklum, selama ini sering liatnya gedung-gedungan mulu. Beneran lumayan lah buat ngisi feed Instagram dan isi materi di blog juga haha.
Itu yang saya tunjuk Laut Jawa. Keliatan ndak?
Soal pengelolaan, kemarin saya nggak ketemu sama pengelolanya. Kalau di papan sih kawasan ini milik PTPN IX Divisi Tanaman Tahunan Kebun Siluwok. Mungkin ada kerjasama juga dengan warga sekitar kali ya, jadi kan bisa membantu perekonomian warga juga hihi. Opini saya lho ini karena saya ndak dapet soundbite dari pengelola hehe.
Saya pribadi sih rekomendasiin ke kalian untuk datang ke tempat ini. Lumayan lah jadi kalau pas lagi mampir ke Batang, nggak cuma mainnya di Pantai Ujung Negoro atau Kebun Teh Pagilaran aja. Tapi saya saranin datengnya pagian aja biar nggak panas-panas banget atau malah bisa jadi ujan pas udah sorean. Yuk mampir!
Anyway, sampai jumpa di jalan-jalan berikutnya ya!

XOXO!
Za

PS.
Foto saya ambil menggunakan kamera Sony A6000. Kalau ada foto saya yang ‘nyangklong’ kamera, itu saya difoto Ayu pake Canon M10. Kemajuan ya kita jalan-jalannya bawa mirrorless haha. Dan semua foto disini ndak saya pake-in filter ya biar liat warna aslinya juga yeay!

2 comments: