SENYAP / THE LOOK OF SILENCE ...

10:44 AM Nova Zakiya 2 Comments


Yang lalu biarlah berlalu...
Yang sudah biarlah sudah...

Kira-kira seperti itulah ungkapan para keluarga korban pembantaian massal selama kurang lebih 49 tahun. Dan kalimat itulah yang membuka peluncuran film Senyap / The Look of Silence tepat di hari pahlawan (10/11) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Saya merasa beruntung karena berkesempatan untuk turut hadir dalam acara tersebut.

Senyap merupakan film dokumenter karya Joshua Oppenheimer setelah Jagal / The Act of Killing yang meraih banyak penghargaan sejak diluncurkannya pada tahun 2012. Film ini masih mengambil tema sentral Pembantaian Massal di tahun 1965. Jika Jagal mengisahkan dari segi pembunuh, dengan tokoh utama Anwar Congo sebagai algojo dan memproyeksikan perbuatannya sebagai tindakan yang heroik dalam sebuah film, maka Senyap lebih mengangkat dari segi korban (keluarga korban). Bagaimana seorang Adi Rukun, adik dari salah satu korban pembantaian di tahun tersebut, menemui satu per satu pembunuh kakaknya. Bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk memenuhi rasa ingin tahunya dan meluruskan fakta agar semuanya menjadi lebih jelas.

Postcard Film Senyap sebagai souvenir premiere Film Senyap di TIM
Acara pemutaran perdana Film Senyap tersebut bekerja sama dengan Komnas HAM dan Dewan Kesenian Jakarta serta beberapa komunitas lain. Penonton yang mendaftar ternyata sangat banyak sehingga pemutaran film dibuat dua kali, yakni jam 15.30 dan 18.00. Sayangnya, proses registrasi berlangsung kurang rapi, bahkan ada satu penonton yang mengklaim dirinya sudah registrasi namun namanya tidak tercantum dalam daftar. Acara ini juga sedikit ngaret dari jadwal yang telah diinformasikan dalam email. Namun, pada akhirnya semua bisa berjalan dan selesai tepat waktu.
Antrian registrasi ulang peluncuran perdana Film Senyap


Di awal pembukaan acara tersebut, perwakilan dari Komnas HAM mengatakan tidak bisa menghadirkan Adi Rukun, sang tokoh utama Film Senyap, demi keamanan dirinya dan keluarganya. Namun, yang sangat tak disangka (bagi saya), setelah film selesai Adi Rukun naik ke atas panggung untuk sesi tanya jawab. Ada sekelumit rasa haru dan bangga akan keberaniannya saat melihat sosok pemeran utama Film Senyap, hingga kami pun memberikan standing applause untuk beliau. Beliau  menceritakan sedikit banyak mengenai keinginannya menemui para pembunuh kakaknya dan perasaan terdalamnya saat menjalani proses tersebut (bertemu para algojo). Suaranya terdengar menahan tangis dan sakit hati saat para jagal mengatakan ingin diberi penghargaan atas “tindakan heroik” mereka.
Adi Rukun saat sesi Tanya Jawab. Ibu berkerudung biru tersebut merasa senasib karena kakeknya menjadi korban dalam pembantaian massal tersebut
Suasana haru kembali hadir saat salah satu penanya, juga merupakan salah satu keluarga korban pembantaian massal tersebut. Ia sedikit berbagi cerita kepada para pengunjung sore itu. Kakeknya menjadi korban dan seluruh keluarganya tetap menyimpan cerita tersebut untuk tidak diungkap kembali. Mereka hidup dalam senyap, untuk menghindari resiko bagi keluarga dan anak cucunya ke depan. Saat kejadian, almarhum kakeknya dipotong daun telinganya dan konon hanya bagian tubuhnya yang itu saja yang dimakamkan di rumahnya. Membayangkannya saja terdengar sangat kejam.
Waktu yang terbatas karena jam 18.00 akan ada pemutaran filmnya kembali, sesi tanya jawab pun hanya sebentar. Adi Rukun kembali dibawa ke backstage.

REVIEW SINGKAT



Film Senyap mengambil latar di Deli Serdang dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Keluarga Adi tinggal di Sei Rampah, ayah dan ibunya sudah tua renta. Kakaknya, Ramli, menjadi salah satu korban kekejaman tersebut karena dianggap PKI. Keinginan Adi untuk menemui satu per satu pembunuh kakaknya muncul ketika Adi mengunjungi orang tuanya dan bertemu Joshua yang tengah membuat film pembantaian massal tersebut. Dalam film tersebut, terlihat Adi selalu menonton hasil rekaman Joshua dengan para algojo yang sangat bangga dengan perbuatannya dan menganggapnya sebagai aksi heroik untuk membela negara.

Adi Rukun saat melihat rekaman wawancara Joshua dengan para algojo daerahnya
Adi Rukun pun satu per satu mendatangi mereka dengan dalih memeriksa mata (membagi kacamata) agar tidak menimbulkan rasa curiga. Di tengah-tengah proses memeriksa mata tersebut, Adi mulai bertanya tentang usia dan juga mengenai aksinya di tahun 1965. Merasa bangga dan tetap menyudutkan PKI, mereka menceritakan setiap prosesnya dengan detail, bagaimana mereka membunuh para “PKI” dengan kejamnya. Beberapa dari para algojo tersebut mengakui alasan kenapa mereka begitu berani memenggal para tawanan adalah dengan minum darah korbannya. Jika tidak minum darahnya, maka mereka akan menjadi gila. Inongsyah, salah satu algojo di daerah tersebut, menceritakan temannya yang menjadi gila setelah memenggal banyak orang namun tidak mau meminum darahnya. Ia (teman Inong) memanjat pohon kelapa dan selalu meneriakkan adzan saat subuh.

Adi Rukun saat menemui Amir Siahaan (salah satu algojo)
Para algojo merasa bangga, bahkan keluarganya pun merasa demikian. Beberapa dari mereka ingin diberi penghargaan karena “telah membela negara”. Ada satu scene dimana anak dari salah satu algojo bangga dengan tindakan bapaknya, dimana semua orang menjadi takut dan hormat dengan keluarga mereka. Namun suasana menjadi senyap ketika Adi mengaku bahwa dirinya merupakan adik dari Ramli, salah satu korban.

Berbagai reaksi muncul ketika Adi berkata yang sesungguhnya. Suasana menjadi senyap. Ada yang meminta maaf, ada yang hanya diam dan tidak mau disalahkan, bahkan ada yang marah karena diungkit masa lalunya. Padahal semula mereka bangga menceritakan tindakan ‘heroik’-nya. Miris. Salah satu penjaga tahanan (bioskop) adalah paman Adi, yang sudah tentu paman Ramli. Saat Adi bertanya kenapa paman tidak menolong Ramli padahal tahu keponakannya ditahan di tempat tersebut, ia hanya mengatakan saya membela negara. Sang ibu protes membela negara siapa, negara apa saat Adi bercerita sepulang dari rumah pamannya.


Ramli sendiri ditangkap karena ‘dituduh’ PKI. Ia ditahan di bioskop Sialang bersama para ‘PKI’ lainnya. Mereka disiksa dengan keji. Singkat cerita, Ramli membuat keributan saat dibawa ke Pasar Baru dan berhasil kabur. Ramli pulang ke rumah orang tuanya dengan kondisi tubuh penuh luka dan usus yang hampir terburai. Sang Mamak dan anggota keluarga lainnya berusaha mencari pertolongan namun para algojo (Amir Hasan dan anak buahnya) menjemputnya dengan jip dengan dalih ‘akan diobati’ dan keluarga tidak boleh ikut.

Ada sebuah scene yang menampilkan rekaman Amir Hasan dan Inong yang dengan bangga memperagakan cara mereka membunuh para PKI. Kemudian saya membenarkan apa ungkapan para algojo di film sebelumnya The Act of Killing yang berbunyi, “Kalau seperti ini, ternyata lebih kejam kita dibandingkan PKI”. Sebuah tindakan yang tidak manusiawi, ketika orang disiksa begitu keji, kepala dipenggal, kelamin dipotong, dan berbagai tindakan keji lainnya. Dalam rekaman tersebut, Alm. Amir Hasan juga memamerkan karyanya berjudul Embun Berdarah, yang bercerita tentang tindakan heroiknya memberantas PKI di daerahnya secara gamblang disertai sketsa adegan. Namun sayang, saat Adi ke rumah Amir Hasan dan bertemu dengan istri serta anaknya, sang anak merasa marah karena merasa dibuka ‘masa lalu’-nya dan mengungkit tindakan ayahnya yang telah wafat.

Satu scene yang membuat saya sangat terenyuh ketika Mamak dan Adi menemui Kemat, salah satu korban yang selamat dalam insiden 1965. Saat itu Kemat dan Ramli melarikan diri bersama. Jika Ramli memilih pulang ke rumah, Kemat memilih untuk bersembunyi dan lepas dari kejaran para algojo. Mamak langsung memeluk erat Kemat, menangis, sambil berkata, “kamu selamat...”. Kemat hanya menjawab, “sudah Mak, yang sudah biarlah sudah. Kita doakan saja Ramli disana...”



Secara keseluruhan, film ini berhasil menyentuh hati dan membuka pikiran saya. Selain itu, Senyap lebih mudah dipahami dibandingkan Jagal dan membuat saya ingin menontonnya lagi. Selama ini kita selalu didoktrin untuk membenci PKI dan segala yang berbau komunis di Indonesia. Di sekolah pun masih terjadi hal yang demikian (di film diperlihatkan ketika anak Adi sekolah dan sang guru mendoktrin para muridnya bahwa PKI itu kejam, sadis, dsb). Namun, ketika melihat kedua film dokumenter Joshua kita akan berpikir ulang, siapa yang sebenarnya kejam. Saya tidak tahu karena memang saya belum lahir pada masa itu. Maka dari itu, saya tertarik untuk membaca atau menonton film yang berhubungan dengan hal ini.

Judul film ini memiliki banyak arti menurut saya. Ketika para algojo dan keluarga bangga akan ‘tindakan heroik bela negara’, suasana menjadi SENYAP ketika Adi mengaku dirinya adik dari salah satu korban. Atau bisa jadi karena keluarga korban memilih untuk SENYAP dan tidak mengungkit kenangan pahit tersebut demi keamanan keluarganya ke depan saat tinggal di antara para algojo. Seperti yang biasa mereka katakan, yang lalu biarlah berlalu, yang sudah biarlah sudah...

2 comments:

  1. dari kecil kita semua sudah dapat doktrin begitu. Apapun kejahatannya,,,ya harusnya hukuman g boleh sekeji itu. Bunuh saja langsung. Atau buang saja ke pulau seberang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, istilah G30S pun harus ditempelin PKI. Hasil visum para jenderal yang dibuang ke lubang buaya pun katanya tidak sesuai dengan apa yang mereka gembar gemborkan. Rezim orde baru benar-benar 'punya andil' dalam seluruh rangkaian kejadian ini. Seperti kata keluarga korban, "Serahkan saja pada Yang Di Atas. Biar Tuhan yang membalas."

      Delete