Dear Dudes, A Catcall isn't A Compliment!

9:16 PM Nova Zakiya 0 Comments


Tepat semalam, saya membuat polling di Instagram Story saya. Tentang apakah boleh kita ‘nyumpahin’ orang yang suka catcalling. Karena kegeraman saya sudah di tahap kesel banget karena ini terjadi berulang kali (yang terbaru, pelakunya bergerombol kerja di dekat tempat tinggal saya), hanya saja saya merasa masih tidak bisa untuk meluapkan langsung dengan menegur orang-orang yang suka catcalling itu.


Catcalling itu Apa sih Emang?

Noun
1 A shrill whistle or shout of disapproval made at a public meeting or performance.
1.1   A loud whistle or a comment of a sexual nature made by a man to a passing woman.

Mudahnya seperti ini, segala bentuk siulan, panggilan, teriakan, ejekan dengan nada melecehkan atau mengandung kata-kata yang bersifat seksual, itu termasuk catcalling. Ini termasuk salah satu bentuk pelecehan seksual berupa pelecehan isyarat yang pernah saya tulis di postingan sebelumnya disini. Seringnya, catcalling terjadi di jalanan, disertai dengan main mata atau kerlingan yang nakal atau lebih parahnya, disertai dengan sentuhan fisik.
Nggak bisa dipungkiri, kejadian-kejadian seperti ini sering banget dialami oleh sebagian besar wanita, baik saat dia sendiri maupun bergerombol dengan teman-teman. Tentu saja, perlakuan ini menimbulkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin saja merasa terancam keselamatannya.
Terus, kalau memberi salam gimana? Kayak ‘Assalamu’alaikum cantik’ oleh orang yang tidak dikenal? Saya pernah menanyakan hal ini kepada ustad di sebuah kajian. Beliau menjawab, dari niat (salam)-nya saja itu sudah tidak benar. Ya mungkin di bagian ini ada yang menganggap bahwa salam adalah doa, tapi kalau saya pribadi geram dengan hal tersebut karena mengandung nada yang melecehkan.
Senada dengan kalimat di atas, beberapa bilang kalau kita dipanggil ‘cantik’, ‘sayang’ atau ‘seksi’ di jalanan oleh orang yang tidak dikenal, itu berarti pujian. Like seriously?
Ironisnya, masih banyak yang menganggap hal-hal seperti ini sebagai bahan bercandaan. Sedihnya lagi, orang-orang di lingkungan saya pun masih banyak yang melakukan hal seperti ini.

Catcalling Bukan Perkara Baju atau Make Up
Lalu ada beberapa pihak yang kemudian berkomentar, ‘bajunya kali yang mengundang’ atau ‘dandan lo aja kali’. Guys, please, kita ubah mindset-nya yuk, ini bukan perkara baju apa yang wanita kenakan, atau dandanan yang seperti apa yang bikin para pria itu menyiulkan atau mengucapkan hal-hal yang tidak pantas. Kenapa saya bisa berbicara seperti ini?
Sebuah pameran di Belgia memamerkan baju-baju terakhir yang dikenakan korban pelecehan seksual. Bajunya biasa aja kan? | Sumber : Reuters
Pertama, saya sering sekali mendapat catcalling ketika berada di jalan, baik saat berangkat atau pulang kerja, atau ketika saya pergi ke suatu tempat. Sendiri, maupun bareng sama teman-teman saya. Kalau ditanya soal baju yang saya kenakan, saya sudah dua tahun belakangan ini mengurangi baju yang ketat (sudah mulai belajar mengenakan rok atau celana-celana kulot). Saya berjilbab juga. Kalau saya baca berita pelecehan di media media online juga beberapa korbannya menggunakan pakaian yang tertutup (bahkan beberapa juga berjilbab). Jadi kalau karena baju, saya kira bukan.
Kemudian, kalau ditanya soal make up yang saya gunakan, saya jarang menggunakan full make up, apalagi kalau hanya ke kantor. Bahkan beberapa kali saya memilih untuk dandan setibanya saya di kantor. Pun saat hari libur dan saya harus keluar (misal ke minimarket atau beli makan dekat kosan), saya paling malas menggunakan make up. Pake day cream aja malah enggak. Jadi dua asumsi ini jelas gugur dong? Masih menyalahkan pihak wanita juga? Nggak coba ditanya apa yang ada di otak para pria pelaku catcalling ini yang emang pada dasarnya ngeres dan masih menganggap wanita sebagai objek?

Bicara soal Angka Terjadinya Pelecehan di Jalan
Tak hanya di Indonesia, pelecehan yang terjadi di jalanan ini juga terjadi di Amerika. Sebuah organisasi non-profit bernama Stop Street Harassment merilis laporan yang berjudul Unsafe and Harassed in Public Spaces: A National Street Harassment Report tahun 2014. Dalam laporan tersebut, pelecehan seksual di jalanan seperti catcalling ini menjadi salah satu isu yang krusial di Amerika Serikat. Sekitar 65 persen wanita dilaporkan pernah mengalami pelecehan seksual di jalan, dimana 57 persen mengalami pelecehan secara verbal sementara 41 persennya mengalami pelecehan yang disertai tindakan fisik, seperti sentuhan, diikuti, atau bahkan dipaksa untuk melakukan tindakan seksual.
Pelecehan ini tak hanya dialami oleh wanita saja, tetapi juga pria, namun persentasenya lebih rendah yakni 25 persen. Dan mereka mengaku tak hanya mendapatkan pelecehan ini sekali, tapi lebih dari sekali bahkan beberapa diantaranya mendapatkan pelecehan semacam ini setiap hari.
Sementara di Indonesia, data dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa hanya 268 kasus pelecehan seksual di jalanan yang dilaporkan ke polisi, NGO atau Komnas Perempuan itu sendiri. Dan jumlah ini bukanlah jumlah keseluruhan. Sebagian memilih bungkam dengan alasan malu, takut atau pesimis laporannya akan diproses karena tidak ada bukti pelecehan.
Kalau kalian ingat, di bulan Januari 2018 juga, ada kasus pelecehan seksual di jalan, dimana pelakunya mengendarai sepeda motor lalu ‘mepet’ ke wanita (dan dia berjilbab) dan memegang bagian tubuh wanita tersebut, lalu kabur. Jadi masih mikir bahwa catcalling dan street harassment itu hal yang remeh temeh?

Apa yang Harus Kita Lakukan Jika Mengalami Catcalling? 
Demi apapun, catcalling dan segala anakannya ini bikin para korban terganggu secara psikis dan ini sungguh melelahkan. 
“Semua perempuan yang saya wawancarai dalam penelitian saya mengaku mengubah rute, tindak tanduk, transportasi, atau pakaian untuk menghindari street harassment.” - Laura Beth Nielsen (profesor bidang Sosiologi, Northwestern University)
Saat dihadapkan pada situasi tersebut, sudah pasti kita geram dan pengen marah. Tapi di sisi lain, kita merasa takut untuk menegur. To be honest, itulah yang sering saya alami. Saya sangat marah kalau mendapat siulan siulan dan panggilan bernada melecehkan tersebut, demi apapun saya ingin memarahi mereka. Tapi di sisi lain, sebagai pendatang, saya juga menimbang apakah yang saya lakukan ini bisa menjamin keselamatan saya ke depannya.
Teman saya, Mba Septa, selalu menasehati untuk menegur orang-orang tersebut, dengan harapan mereka tahu bahwa hal ini salah dan tidak akan mengulanginya lagi. Karena jika kita hanya diam dan terus dibiarkan, para pria yang kurang ‘berpendidikan’ (secara moral) ini tidak akan menyadari bahwa hal yang mereka lakukan itu salah. Yang ada, kejadian semacam ini akan terus menerus berulang. Mau lebih ekstrim? Selain menegur, foto aja pelaku catcalling lalu upload di media sosial. Sekarang ini sudah ada beberapa akun instagram yang memiliki gerakan untuk melawan catcalling. Perlu diingat, bahwa kita menegur perilaku mereka, bukan menegur personal orangnya. 
Because if we don't stand up for ourselves, who else will?

XOXO!
Za


PS.
Semoga ke depannya jika saya mengalami hal demikian, saya berani untuk melawan! Dan juga postingan ini berawal dari uneg uneg pribadi ya. Kalau saya pernah bilang, sebenarnya perbuatan termasuk pelecehan atau bukan itu tergantung dengan si penerimanya. Jika si penerima merasa wajar, ya bukan pelecehan. Tapi kalau si penerima merasa terganggu, itu sudah termasuk pelecehan. Bukan bermaksud menggurui, hanya berbagi saja untuk Indonesia yang lebih aman dan beradab.

0 comments: