Saatnya Mahasiswa Mengerti dan Bersuara

3:27 PM Nova Zakiya 0 Comments

Akhir-akhir ini, kita terus terusan dibombardir oleh isu bakteri Sakazaki yang melibatkan almamater tercinta kita, IPB. Kita sendiri, sebagai mahasiswa, pasti belum terlalu paham tentang permasalahn ini. Alangkah baiknya jika kita membaca sebuah catatan dari Bapak Arya Hadi Dharmawan yang beliau posting di facebook. Mungkin setelah membaca ini, kita lebih dapat memahami kasus ini dan bertindak sebagaimana mestinya. Semoga catatan ini bermanfaat bagi kita semua.

Tekanan dan Gugatan Terhadap IPB: Etika Penelitian, Batas Kewenangan, & Akuntabilitas Publik

Oleh : Arya Hadi Dharmawan

Asslm wr wb dan salam sejahtera,
Para mahasiswa IPB dan rekan-rekan sekalian, sebagaimana beberapa waktu yang lalu pernah saya sampaikan, beraktivitas-riset ilmiah itu ada kode etiknya. Siapapun orang sekolahan yang penah menyusun skripsi, pasti paham kode-etik penelitian itu apa. Adalah benar bahwa kita perlu mengedepankan etika-transparansi kepada publik atas apa yang ditemukan. Namun, pada saat yang sama kita juga harus memegang etika kehati-hatian. Sebagai orang yang cerdas, kita harus pandai memperkirakan dampak yang ditimbulkan, bila “demi transparansi” kita semaunya mempublikasikan sesuatu ke publik yang bisa berbuah keresahan dan ditingkahi kekerasan. Bahkan bakar-bakaran, anarkhis, seperti yg sudah kita sering lihat di berita-berita di TV-TV. Kita (ilmuwan dan civitas IPB) bukanlah orang-orang yang gegabah dan hidup bak di jaman jahiliyah yg sesukanya mengumbar wacana tanpa antisipasi jangka panjang. Kita bukan bagian peradaban yg sering dipertontonkan oleh pihak-pihak tertentu yang suka sensasi dan bertindak semaunya bak “pahlawan kesiangan” (silakan saksikan di media TV-TV dan surat kabar) itu. Kita di IPB adalah orang-orang yang tahu menempatkan diri. Kita tahu bilakah saatnya berbicara dan bilakah harus diam.

Jikalau penelitian itu pesanan dari dan untuk pemerintah, maka hasilnya dan publikasinya pun haruslah diserahkan kepada pemerintah bukan kepada publik. Bila riset itu untuk keperluan skripsi, tesis, dan disertasi, maka publikasinya di perpustakaan dan jurnal ilmiah. Bayangkan bila setiap hasil riset skripsi, tesis, disertasi mahasiswa IPB, harus selalu dipublikasikan di koran dan TV, betapa semrawutnya informasi di negeri ini. Dalam hal riset tentang kontaminasi bakteri E. Sakazakii pada sejumlah merk susu bubuk formula yang gempar (atau ”sengaja digemparkan” di awal Februari 2011 di TV-TV nasional itu), maka posisi IPB, menurut saya, sudah benar untuk tidak membuka hasil riset (tentang merk apa saja yang terkontaminasi) tersebut ke publik. Dalam hal ini, etika transparansi dipadukan dengan etika kehati-hatian serta etika konfidensialitas (kerahasiaan dalam riset = bukan berarti selalu berkonotasi negatif), menghasilkan publikasi terbatas kepada pemerintah (dengan harapan pemerintah yang take action selanjutnya). Sampai titik ini etika akuntabilitas ditunaikan oleh IPB. Lalu mengapa IPB terus dihujat? Apakah dengan publikasi terbatas, IPB telah mengabaikan kepentingan publik (ibu-ibu yg memiliki balita pengonsumsi susu formula?). Jawabannya, tidak sama sekali, IPB tetap memegang teguh etika tanggung-jawab publik dengan mengkomunikasikannya bersama pemerintah.

Setahu saya, segera setelah penemuan itu, IPB segera melaporkan temuannya kepada pemerintah, agar pemerintah (otoritas kesehatan masyarakat) menindaklanjuti hasil temuan riset tersebut, demi menyelamatkan publik (pemerintah adalah lembaga yang memegang kewenangan di bidang regulasi kesehatan). Dan pemerintah sigap, sejak 2006 pemerintah melakukan tindakan konstruktif terhadap produsen-produsen susu formula, dan implikasinya sudah tak ada lagi kandungan bakteri tersebut di merk-merk susu formula manapun saat ini.

Lalu, bila di awal tahun 2011 atau 5 tahun kemudian, IPB diminta mengumumkan merk-merk susu formula yg 5 tahun lalu terkontaminasi bakteri itu ke media, maka untuk apa sesungguhnya semua itu?  Bukankah semua sudah menjadi tidak relevan lagi? Ada motif apa dibalik semua tekanan pada IPB itu?). Spekulasi politisasi bakteri pun merebak dengan cepat dan meluas.

Saya tak ingin larut pada isyu “politisasi bakteri” ini. Saya hanya hendak melihat etika penelitian di lembaga akademik dan sains seperti IPB ini dipahami oleh publik dan semua orang termasuk mahasiswanya, agar tidak terjadi excessive expectation. Saudara-saudara sekalian, dalam hal ini, IPB sudah berada di jalur benar, yaitu IPB menganut etika ”tahu menempatkan diri” dimana peran dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan riset-akademis, karenanya IPB tidak “asal umbar bicara kepada publik” tentang riset susu formula tsb. Sekali lagi, IPB bukan layaknya lembaga seperti Badan Reserse Kriminal di lembaga kepolisian – di Bareskrim pun juga ada tata-kramanya untuk menyiarkan sebuah temuan ke publik, yg berwenang menuduh pihak-pihak tertentu. Karenanya IPB tidak bisa mengumumkan apa saja dan begitu saja ke publik, lalu bahkan menghakimi pihak-pihak tertentu semaunya. Tindakan asal publikasi itu “sesat dan menyesatkan”. Civitas IPB juga bukan kumpulan orang seperti yg berada di ”pihak-pihak tertentu” yg semangatnya bak  “pahlawan kesiangan” lalu bertindak sendiri-sendiri di lapangan dengan menghancurkan nama-baik siapa saja, meresahkan masyarakat, mengacaukan suasana, dan main hakim sendiri terhadap produsen dan konsumen susu formula. Harus diingat IPB adalah lembaga pendidikan dan riset, bukan pembuat regulasi di bidang kesehatan. Pun IPB bukan lembaga ”kehakiman” yang bisa menghakimi pihak-pihak tertentu semaunya. Pemerintah pun sebenarnya tidak bersalah. Ia juga telah sigap merespons hasil riset ini. Setahu saya segera setelah IPB menginformasikan kepada pemegang otoritas regulasi kesehatan atas temuannya, pemerintah mem-follow up temuan itu, dan mengingatkan para produsen susu formula untuk membersihkan dan menjamin produknya tak lagi tercemar bakteri mematikan tsb. Hasilnya, sejak 2006, bakteri itu tak lagi ditemukan di produk-produk susu formula yg dijual di pasaran. Proses tuntutan hukumnya di pengadilan saja, yang panjang sehingga baru di awal tahun 2011, isyu tersebut muncul lagi ke permukaan. Hingga titik inilah, saya hendak mengatakan bahwa sebagai lembaga pendidikan tinggi, IPB sangat tahu diri, dimana kewenangannya (sbg pengembang ilmu) dan karenanya, menyerahkan temuannya kepada pemilik kewenangan regulasi dan kebijakan, yaitu pemerintah. Sehingga, bila publik menuntut IPB harus bertindak “seolah-olah” seperti regulator dan pemilik kewenangan kebijakan (terlebih lagi bertindak over-acting seperti pihak-pihak tertentu yg amarah dan bisa semaunya mengkritik sana-sini) via publikasi hasil penelitian ke ruang publik. Jika itu dilakukan, maka itu sama saja masyarakat berharap IPB bertindak anarkhis (terhadap mandat fungsi dan perannya).

Anarkhisme itu setara dengan tindakan para kriminal yang suka bertindak melampaui batas kewenangan kepolisian dan bertindak ala “polisi” di jalanan… sekali lagi kita di IPB bukan orang-orang yang anarkhis itu…jangan paksa IPB berbuat anarkhis di bidang sains dan ilmu pengetahuan… kita kumpulan orang-orang berpikir panjang…. Biarlah setiap institusi berperan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing, tidak saling serobot untuk pamer kekuatan. Sebagai catatan, banyak dosen IPB mempunyai riset kritis yang hasil risetnya mengungkap tentang  banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di negeri ini (penyimpangan itu bisa di bidang pencemaran lingkungan hidup oleh industri, deforestasi oleh illegal logging, penghancuran laut oleh illegal fishing, praktek pelayanan publik yg buruk dan menyimpang, persaingan usaha tak sehat yang merugikan ekonomi kecil, marjinalisasi petani, konflik-konflik agraria di kawasan konservasi, eksploitasi tambang yang berujung konflik dan penghancuran hutan, dsb). Bahkan para mahasiswa IPB pun dalam skripsi, tesis, dan disertasinya juga banyak mengungkap penyimpangan-penyimpangan dan masalah-masalah menyedihkan di negeri ini. Apakah publik akan menuntut juga, semua hasil riset yg berisi inventarisasi atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di negeri ini harus diungkap semuanya di koran, TV, majalah, FB, Twiter, milis, dsb demi publik? Jika hal itu (publikasi hasil riset) dilakukan semaunya sesuai selera “pahlawan kesiangan”, maka rusaklah tatanan peradaban akademik di negeri ini. Inilah yang saya sebut, peneltian itu memiliki etika (tata-krama). Kita paham, bilakah kita harus menyampaikannya kepada publik, pemerintah, atau pihak otoritas lain yang pas. Karenanya, sekali lagi publik perlu paham posisi etis ini. Bila publik dan parpol (yg wakilnya duduk di Senayan) terus menekan IPB utk berbuat “melampaui batas”, maka sebenarnya mereka telah berlebihan terhadap IPB… Jangan sampai kita berkesimpulan bahwa: pantaslah negara ini tidak pernah beres, karena negeri ini diisi oleh dan dipimpin orang-orang yang melampaui batas atau minimal merestui orang lain utk melampaui batas. Padahal mereka yg suka melampaui batas itu sesungguhnya dibenci oleh Allah SWT…

NB: saya tidak mengenal secara pribadi tim peneliti susu formula di IPB ini, tetapi sebagai sesama dosen-peneliti di IPB yang malang-melintang di dunia riset ilmiah, saya bisa menduga beratnya tekanan psikologis yang dihadapi oleh tim peneliti tersebut dengan pemberitaan berlebihan ini.

Salam,
Arya Hadi Dharmawan
Bogor 20.02.2011

0 comments: