Perempuan dalam Pelecehan Seksual: Korban Sekaligus Disalahkan
Sore tadi ketika saya sedang melihat timeline di jejaring sosial Twitter, ada satu topik yang cukup menggelitik yang banyak di-retweet oleh akun Komnas Perempuan.
Harian Kompas edisi 7 Juni 2015 |
Jam malam bagi perempuan sudah diberlakukan di Aceh. Perda ini diharapkan mampu mengurangi angka pelecehan seksual terhadap perempuan, khususnya di Banda Aceh ataupun di Provinsi Aceh yang tergolong tinggi. Yang menjadi pertanyaan, benarkah Perda yang ditetapkan ini? Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai kebijakan ini karena pasti ada sisi pro dan kontra dalam diri saya melihat itikad baik dari kebijakan ini seperti melindungi perempuan. Namun disini saya akan lebih berbicara kasus pelecehan seksualnya.
Lucu memang ketika terjadi pelecehan seksual selalu pihak perempuan lah yang cenderung disalahkan. Sanksi sosial yang diterima pihak perempuan pun cenderung lebih kejam. Entah dengan alasan baju terlalu minim lah atau gayanya yang menggoda dan sejumlah kesalahan-kesalahan lainnya di pihak perempuan. Kebijakan yang paling baru ini pun cenderung diskriminatif, mengapa? Karena ini membatasi hak perempuan. Memang perempuan tidak baik jika pulang larut malam dengan alasan yang tidak jelas, lalu bagaimana dengan wanita bekerja?
Sudah menjadi hal yang lumrah saat ini para wanita ikut bekerja untuk menambah penghasilan keluarga, baik yang sudah bersuami maupun yang belum. Kebutuhan hidup yang semakin lama semakin mencekik membuat para wanita mau tak mau ikut menyokong penghasilan sang suami. Kebetulan dulu penelitian tugas akhir skripsi saya mengambil responden ibu bekerja pada dual earner family (keluarga dengan suami istri bekerja), dan mereka mengaku bahwa salah satu alasan mereka bekerja ya memang untuk menambah penghasilan keluarga, membantu suami. Biaya anak sekarang mahalnya luar biasa, mulai dari kebutuhan sehari-hari sampai biaya sekolah pun sekarang bisa membuat kita geleng-geleng kepala. Namun, hal tersebut pasti akan dipenuhi demi masa depan sang anak. Dan beberapa diantaranya bekerja hingga larut malam.
Kembali ke topik semula, jika terjadi pelecehan seksual kenapa harus pihak perempuan yang disalahkan? Kenapa masyarakat tidak melihat 'si pelaku'? Okelah jika ada beberapa kasus pelecehan yang menimpa pada perempuan berbaju minim, lalu bagaimana dengan pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan dengan baju sewajarnya atau bahkan tertutup? Bukankah kejadian tersebut lebih mengacu pada apa yang ada di otak si pelaku yang tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah? Bisa jadi karena pengaruh film porno atau majalah dewasa yang sering ia tonton atau baca sehingga melihat perempuan sedikit pun langsung terangsang. Ditambah dengan pengaruh minuman beralkohol yang dengan mudah bisa didapat atau bisa juga karena pengaruh media massa. Jika demikian, masihkah perempuan menjadi pihak yang disalahkan?
Kebanyakan lelaki melihat perempuan hanya sebatas objek pemenuh kebutuhan seksual saja. Saya bisa bicara seperti ini karena kebetulan bercandaan di lingkungan saya tidak jauh dari topik tersebut. Mereka mengemas sedemikian rupa dalam bentuk canda tawa, tapi tetap saja saya suka risih mendengarnya karena itu bisa dibilang sangat melecehkan perempuan. Kedengarannya berlebihan memang, ditambah saya memang belum berkeluarga, tapi apakah "hal tersebut" harus diumbar dan dijadikan bahan bercandaan?
Alangkah baiknya jika sebuah kebijakan melindungi perempuan namun tetap tidak mengurangi haknya sebagai manusia. Perempuan memang harus bisa menjaga diri dan tahu adat serta norma yang berlaku. Lelaki juga harus bisa menjaga dirinya, menjaga hawa nafsunya. Ingat bahwa ibu kalian juga perempuan.
Hanya sedikit uneg-uneg saja yang sudah lama saya pendam melihat keadaan di lingkungan saya yang sudah tidak saya pahami lagi letak dimana saya harus menoleransi topik tersebut. Tanpa bermaksud untuk menyinggung pihak manapun, sekian dan terima saran.
XOXO!
-zakia-
Hai Nova Zakiya,
ReplyDeletekenalin aku Elwi, Asisten kampanye Divisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan. Memang miris yaa masih banyak masyarakat Indonesia yang menyalahkan perempuan korban kekerasan :(
tetap semangat menulis yaa, Nova!
Halo Mba Elwi,
Deleteterima kasih telah mampir di halaman saya yang seadanya ini. Betul sekali, mindset masyarakat memang masih demikian adanya. Seperti dalam tulisan saya, kebanyakan perempuan hanya dianggap sebagai objek pemenuhan kebutuhan seksual saja sehingga bercandaan pun tidak jauh dari topik tersebut. Perempuan dianggap sebagai pemicu terjadinya kasus pelecehan seksual. Semoga saja kejadian-kejadian seperti ini semakin berkurang.
Hay Zaq,,kita kan alumni asrama yang pakai jam malam,,,hahahah lebih parah malah jam 9.
ReplyDeleteKontrolnya bakal susah Zaq
Sebenarnya aturan seperti itu nggak bisa digeneralisasi sih Mba Nurul. Kalau jam malam di asrama jelas setuju, karena kondisinya jauh dari orang tua/keluarga dan rata-rata usia anak di tahun pertama kuliah itu kan 17-18 tahun yang mana usia tersebut masih kategori di bawah umur (dilindungi hukum/UU Perlindungan Anak) . Nah kalau untuk jam malam bagi perempuan ini kan lebih general alias menyasar semua umur termasuk bagi yang sudah dewasa maupun yang berkeluarga. Apalagi wanita karir yang mau ngga mau, atas nama tuntutan profesi, harus bekerja sampai malam kan jadinya agak membatasi ruang gerak. Toh, pihak perempuan juga bisa membatasi dirinya sendiri dalam artian bisa menetapkan semalam apa dia harus pulang ke rumah.
DeleteSebenarnya lebih kepada dimana letak urgensi aturan ini apakah benar-benar bisa mengurangi angka pelecehan seksual. Bukankah kasus-kasus tersebut lebih kepada otak si pelaku, maksudnya nggak semua letak kesalahan ada pada si perempuan seperti yang aku tulis di atas. Hahaha aku nulis ngaco amat. Maafkan hahaha