Pro Kontra Sistem Ranking di Sekolah
Hari ini, di sekolah adik sepupu saya sedang bagi rapot. Sontak salah satu tante saya bertanya, "kamu dapet ranking berapa?" yang kemudian dijawab oleh adik saya, "di sekolahku udah nggak pake sistem ranking." Tanpa disadari rupanya mayoritas orang masih menilai kecerdasan seseorang dengan angka.
Saya teringat mata kuliah Pendidikan Holistik. Pernah ada pembahasan mengenai sistem penilaian siswa yang dituangkan dalam angka-angka lalu dikelompokkan menjadi urutan 'siapa paling pintar' dan 'siapa yang berada di bawah'. Rasanya tidak adil ya kita belajar 6 bulan lamanya kemudian hanya dinilai secara akademis dari angka ujian-ujian di akhir semester saja. Padahal belum tentu baik secara akademis baik pula di aspek non-akademis nya.
Tak jarang ada siswa yang akademisnya kurang bagus namun aspek non-akademisnya sangat menonjol. Disinilah peran guru untuk dapat mewadahi semua kemampuan sang anak didik tanpa menyama-ratakannya.
Sebuah sistem pasti ada baik buruknya. Sisi baiknya, ranking bisa menjadi motivasi belajar siswa. Sayangnya, tidak banyak siswa yang menjadikannya motivasi. Yang ada ranking dijadikan sebagai ajang saling judge 'anak pintar' dan 'anak bodoh'.
Contoh lain, ketika kalian ada di posisi ranking paling bawah, apakah kalian akan termotivasi untuk tidak berada di posisi tersebut atau justru merasa malas belajar karena mau belajar sengoyo apapun hasilnya akan sama saja? Beberapa anak yang saya temui dulu justru memilih jawaban terakhir.
Sedikit intermezzo mengenai ranking, saya punya cerita tentang produser saya yang justru merasa bosan dari SD hingga SMA selalu berada di ranking 3 besar. Yang ia lakukan selanjutnya adalah berusaha untuk merasakan ranking di luar 3 besar, asal tidak lewat dari 10 besar. Di saat yang lain mengejar 3 besar, ia justru mengejar ranking 4 hingga 10. Such an antimainstream person hahaha.
Kembali lagi ke pembahasan sistem ranking, pada akhirnya sistem ini memaksa anak untuk 'sama', padahal kemampuan masing-masing anak berbeda. Hal inilah yang membuat anak tidak dapat mengembangkan potensi dan pola pikir mereka. Produser saya tadi sempat bersitegang dengan gurunya hanya karena cara mengerjakan soal matematika step-nya tidak sama dengan apa yang sang guru ajarkan. Padahal hasilnya benar dan saat disubstitusikan dengan angka pun benar. Produser saya hanya mencoba menyederhanakan langkahnya saja, namun hasilnya si guru malah sentimen terhadapnya.
Selain itu, sistem ini akan melahirkan sebuah kompetisi. Jika dikemas dengan baik, tentu bisa menjadi motivasi. Namun jika tidak, hal ini akan menjadi buruk. Anak akan berorientasi pada hasil saja tanpa memperhatikan prosesnya. Semacam "pokoknya nilai saya harus bagus gimana pun caranya". Bisa dibayangkan, mencontek bisa menjadi salah satu hal yang dilakukan anak untuk mendapat nilai bagus sehingga lolos dari kata 'bodoh'.
Sistem ranking memang perlu dikaji ulang. Beruntung beberapa sekolah sudah mulai berorientasi pada proses ketimbang hasilnya saja, seperti sekolah adik saya. Sistem belajar yang berorientasi pada proses memberikan kesempatan yang lebih besar bagi anak untuk mengembangkan cara belajar mereka sesuai potensi yang ia miliki semaksimal mungkin.
Pun dengan orang tua, baiknya selalu mendukung anak tanpa menitikberatkan pada "kamu harus peringkat sekian, nilai kamu harus di atas sekian, dan sebagainya." Biarkan anak berkembang sesuai potensi yang ia miliki. Agar anak bisa berpikir lebih terbuka dan mampu mengenali dirinya sendiri.
P.S.
Rapot adik sepupu saya berupa penilaian guru dalam bentuk kalimat bukan angka, mengenai proses belajar adik saya, seperti apa dia di kelas saat kegiatan belajar mengajar, apa kelebihan dan kekurangannya. Di sekolahnya juga sudah tidak menggunakan sistem ranking kelas. Oh ya sistem belajarnya tetap menggunakan sistem tematik sehingga satu sama lain saling berkaitan.
Kalau masih pakai angka, enakan di gurunya zaq. Tinggal koreksi soal, masukin angka. Kalau pakai kalimat,,,hahaha pasti rempong. Ngerasain rapit pakai kalimat cuma pas TK. Sama pas asesment kerjaan sih
ReplyDeleteHahaha tapi lebih fair. Guru bisa ngamatin perkembangan siswanya satu per satu. Makanya sekarang kan lebih efektif jumlah siswa di kelas sekitar 20-an hehe. Cuma pendapat aku aja sih mba aku liat dari keadaan sekitar dan beberapa dari penjelasan matkul dulu. Bisa setuju bisa engga.
DeleteRanking bikin siswa menghalalkan segala cara agar nilai bagus juga. Dan kadang agak gimana gitu orang tua disini juga masih terpaku pada "ranking", walaupun menurut saya sistem perankingan membuat siswa termotivasi dan bersaing, nampaknya sekarang udah jarang
ReplyDeleteSebenernya siste perankingan ini menurut saya dapat memberi motivasi pada siswa agar saling bersaing, tapi sekarang nyatanya banyak siswa yang menghalalkan segala cara agar mendapatkan nilai bagus, nggak peduli ngerti pelajarannya atau enggak, mungkin udah ngga berlaku lagi dijamn sekarang ya hehehe. Kalo sistem pencatatan, semua guru jadi kaya psikolog :D
ReplyDeleteIya setiap sistem memang ada baik buruknya. Ranking memang bisa memotivasi siswa, tapi tidak semua bisa berpikir ke arah sana. Karena ketika anak berada di peringkat bawah, mereka justru akan menjadi malas. Apapun sistemnya semoga saja menjadikan sistem pendidikan di Indonesia semakin maju ya, demi generasi penerus bangsa
DeleteDi tmpat ibukq ngajar nggak pakek rangkibg mbak, tp pakek kata2, tangan ibukq jg nggak keriting, soalnya yg nulis aq, jd aq yg gempor *oles minyak urut, ibuk yg dikte alias ngucapinbtrs aku yg nulis
ReplyDeletebener banget, kecerdasan seseorang tdk bisa dinilai dari angka
ReplyDeletehal semacam ini juga pernah saya tulis di blog wkwk *numpang promo* :D