[JOURNOLIFE] : Di Balik Doorstop Interview
Bulan November tahun ini, saya mendapat tantangan baru dalam karir saya di kantor. Jika sebelumnya, di page ini, saya menulis diri saya sebagai “jurnalis di balik layar”, mengolah data dan naskah dari balik komputer saja, rupanya bulan ini saya diberi kesempatan untuk turun langsung membuat berita dari lapangan (nggak main layangan doang di lapangannya). Kenapa demikian? Ceritanya sungguh singkat jadi saya nggak akan cerita itu, tapi cukup pengalaman saya di lapangan hahaha.
Seperti biasa, untuk anak yang baru turun di lapangan, pasti
nggak akan dilepas sendiri alias tandem saat liputan. Di hari pertama saya,
tepatnya pada 8 November lalu, saya kebagian liputan di Bareskrim Polri bersama
Intan Bedisa (selanjutnya saya panggil Ibed) dan kameramen ter-strong si Depoy. Saat itu, kami mengawal
kasus dugaan penghinaan Presiden oleh salah satu artis ibu kota saat melakukan
aksi damai 411. Ya namanya Bareskrim, selain yang di-ploting-in sama korlip, kita juga dapet materi tentang kelanjutan
pemeriksaan kasus dugaan penistaan agama yang lagi anget-angetnya diomongin di
semua sosial media. Iya, semua kasus memang penuh dugaan huff.
Hari itu memang kami lebih banyak doorstop interview. Saya masih lebih banyak mengamati bagaimana alur peliputan di lapangan. Alhamdulillah lancar dan saya pun mengirim dua naskah sebagai penilaian. Lalu kami pulang dan makan nasi padang lauk rendang :3
Tak disangka, cerita yang sebenarnya terjadi pada dua hari
berikutnya (karena Rabu saya masih tandem liputan untuk Lensa Siang). Rabu
malam di plotingan, nama saya bertengger sendiri dengan satu orang kameramen, si
Iki (Alhamdulillah yang udah kenal banget). Agendanya, ke Bareskrim lagi buat
ngawal pemeriksaan Buni Yani. Bakal doorstop
lagi nih. Hmmm.
Doorstop Interview itu Apa sih?
Doorstop interview merupakan salah satu jenis wawancara di lokasi saat narasumber keluar dari ruangan. Sebenernya nggak literally harus di depan pintu banget sih, bisa di parkiran juga kok hahaha. Wawancara seperti ini biasanya dilakukan terhadap narasumber yang sulit dihubungi untuk wawancara. Tapi tidak sedikit juga mereka yang mau di-doorstop atas keinginan sendiri, untuk memberikan klarifikasi terkait kasus yang dialaminya, setelah keluar dari pemeriksaan atau dari pertemuan tertentu.
Doorstop interview merupakan salah satu jenis wawancara di lokasi saat narasumber keluar dari ruangan. Sebenernya nggak literally harus di depan pintu banget sih, bisa di parkiran juga kok hahaha. Wawancara seperti ini biasanya dilakukan terhadap narasumber yang sulit dihubungi untuk wawancara. Tapi tidak sedikit juga mereka yang mau di-doorstop atas keinginan sendiri, untuk memberikan klarifikasi terkait kasus yang dialaminya, setelah keluar dari pemeriksaan atau dari pertemuan tertentu.
Jangan sedih, di saat seperti ini terkadang narasumber bisa
jadi reaktif dan emosional. Ada yang menolak diwawancara atau merasa
tersinggung saat jawabannya dipotong oleh pertanyaan lain. Jadi sebaiknya, kita
dengarkan dulu jawabannya sampai selesai baru bertanya lagi (nggak sopan juga
sih kalau motong pembicaraan orang). Kalau ditolak, tetep record aja sambil tetap berusaha mengejar si narsum (cieee dikejar...).
My very first Doorstop Interview will be like...
Jadi setelah malemnya ngehubungin Iki, besoknya saya sengaja
dateng pagian biar bisa riset dulu pake pc kantor (biar cepet dan puas coy haha). Nge-list pertanyaan apa aja yang kira-kira
bisa ditanyain, apa aja yang harus saya lakuin, dan juga ringkasan singkat
mengenai siapa si Buni Yani dan kasus yang melibatkannya saat ini.
Sebenernya topik ini begitu ramai di medsos. Banyak orang dari
kedua kubu saling share artikel yang
berlawanan. Bahkan beberapa yang membuat otak sepaneng, saya sengaja unfriend (tanpa pandang berada di kubu mana) haha. Saya memang menghindari
topik ini demi menjaga kesehatan jiwa. Eh gataunya malah dapet topik ini pas
tau-tau disuruh jalan sendiri.
Baca juga : STOP BEING 'ONE CLICK KILLER'
Baca juga : STOP BEING 'ONE CLICK KILLER'
Untungnya, saya sudah tau lingkungan Bareskrim
seperti apa, jadi tidak terlalu banyak adaptasi. Paling hanya adaptasi dengan
teman-teman di lapangan yang ternyata beda dengan yang ketemu di hari Selasa.
Prepare, baca-baca
sambil ngemil tahu isi dagangan Mbak Ika di Balai Wartawan, lalu diskusi sama beberapa
reporter yang udah dateng. Sekitar jam 9, muncul kabar bahwa Buni Yani sudah
sampai di Tugu Tani (Bareskrim sekarang kantornya di KKP depan stasiun Gambir).
Jadilah kita bersiap ke depan dan prepare
alat.
Jam setengah 10, Buni datang bersama kuasa hukumnya. Kita
langsung sodorkan mic dan ajukan beberapa pertanyaan sambil jalan. Doorstop pertama berjalan aman jaya cihuy.
Setelah selesai timecode
dan membuat draf naskah, kita banyak
bengongnya. Pemeriksaan pasti akan berlangsung cukup lama (saya sendiri awalnya menebak kelar setelah jam makan
siang). Kita juga belum dapat statement
dari pihak kepolisian ada berapa orang yang diperiksa hari ini. Ada yang
menyiapkan materi untuk live, ada
yang feeding gambar, ada yang
ditelpon produser, ada yang ngobrol, ada yang tiduran di lantai lobi, dan masih banyak ketidakjelasan lainnya di
hari itu.
Beberapa jam berikutnya, datanglah Brigjen Agus Riyanto (Karopenmas Mabes Polri). Dilobi sedikit
oleh para reporter, akhirnya beliau mau kasih statement tentang penyelidikan ini. Berapa saksi yang diperiksa
hari itu dan totalnya udah berapa, bagaimana nanti gelar perkara akan berjalan
(sesuai arahan Presiden), dan beberapa informasi lainnya.
Yak, rapi bukan tripodnya? Bahkan saat antisipasi hujan, tripod dinaikkan ke lobi dengan amat sangat rapi sampai ngehalangin jalan. Haha |
Disinilah
mulainya cerita itu. Jadi doorstop hari
ini jauh lebih rapi dan terkonsep ketimbang hari Selasa lalu yang terkesan grabak
grubuk. Para kameramen dealing atur
letak tripod dimana dan reporter posisinya ada dimana. Cuma agak sedikit
‘ngegas’ aja sama anak online yang
gamau gantian ambil gambar biar win win
solutions gitu.
Saya akan
membuat sebuah pengakuan, bahwasanya menyodorkan mic cube itu berat. Hahaha.
Semua reporter bersimpuh (alamaaak
bersimpuh banget) di tangga, ya kecuali beberapa yang udah nggak kebagian
tempat aja jadi berdiri. Posisi saya ada di tangga kedua, which is tangan saya harus tetap lurus memegang mic cube ke atas arah narsum. Serius.
Pegel. Hahaha.
Lalu di
tengah wawancara, dorongan semakin kuat dari kiri saya, sehingga lutut kiri
saya jadi nggak napak (yang napak cuma lutut kanan) dan itu udah gemeter kaya
apaan tau. Berkali-kali saya nengok ke kiri ngasih kode biar nggak didorong,
namun Vidi (teman pertama saya di Bareskrim hari itu dari NET) seolah
mengatakan ”I can’t do anything, Za,”.
Kami terdesak dari samping dan badan kita sama-sama kecil hahaha.
Saya sendiri
berusaha survive dengan memegang mic bergantian dari tangan kiri ke kanan, hingga akhirnya saya bilang sama Mas Armand CNN yang berada di depan saya,
”Mas, boleh pegangan nggak?”. Dia pun mengangguk. Adek nggak kuat bang berdiri
dengan satu lutut bang hahaha. Rupanya lutut berkata lain, dia memilih jatuh ke
tangga nomor tiga. Bhay!
Selesai doorstop, seperti biasa saya melipir ke
samping bersama kameramen untuk timecode. Tiba-tiba Iki nyeletuk,
"lo
kenapa tadi? Jatoh ya? Gue liat kok tau-tau suaranya mengecil dan mic-nya ilang, akhirnya gue naikin aja
sensitifnya biar suaranya tetep jelas,”.
That’s
what I call a teamwork. Nuhun Iki, you
save my first doorstop anyway. Hahaha.
Baca juga : MENGENAL KEAJAIBAN EDWARDS SYNDROME (TRISOMY-18) DARI ANI WIDIA
Sambil nunggu Buni Yani keluar, draf naskah sudah selesai, tinggal nambahin kelar pemeriksaan aja, saya mulai melakukan ketidakjelasan. Mukul mukul rok, mainin pulpen, ngobrol sama Vidi NET, sama Iki, bercanda sama kameramennya MNC yang kocak tapi cablak, mondar-mandir Balai Wartawan-lobi (di Balai Wartawan ngantuk malah), nyemil kacang, minum susu, solat di basement (tapi akhirnya saya menemukan mushola bagus di Bareskrim! Senang!) dan sejumlah aktivitas lainnya.
Baca juga : MENGENAL KEAJAIBAN EDWARDS SYNDROME (TRISOMY-18) DARI ANI WIDIA
Sambil nunggu Buni Yani keluar, draf naskah sudah selesai, tinggal nambahin kelar pemeriksaan aja, saya mulai melakukan ketidakjelasan. Mukul mukul rok, mainin pulpen, ngobrol sama Vidi NET, sama Iki, bercanda sama kameramennya MNC yang kocak tapi cablak, mondar-mandir Balai Wartawan-lobi (di Balai Wartawan ngantuk malah), nyemil kacang, minum susu, solat di basement (tapi akhirnya saya menemukan mushola bagus di Bareskrim! Senang!) dan sejumlah aktivitas lainnya.
Sekitar jam
1-2 siang ada arahan dari korlip untuk kirim naskah dulu (mau tayang untuk Lensa Sore soalnya) sementara gambar nanti
bakal diambil sama messenger, Mas
Budi. Ajaib lho Mas Budi ini bilang “ada di samping” saya nggak liat kapan
lewatnya tau tau beneran ada di samping hahaha. Call it magic, call it true. Coldplay kali ah~
Di sela-sela
itu, ada lagi yang datang seperti komunitas Cinta Bangsa Warung NKRI yang
menggalakkan #SaveBuniYani, juga ada Forum Silaturahmi Alumni HMI Lintas
Generasi yang melaporkan beberapa tokoh politik yang mereka anggap sebagai
provokator aksi damai 411 sehingga 5 anggota HMI ditangkap. Ya, semudah itu ya
saling melaporkan orang. Padahal bobo di rumah lebih enak lho, Pak, tanpa
berurusan sama hukum haha ini sih pendapat pribadi saya.
Hal unik
kembali saya alami disini. Jadi ceritanya, kita emang kalau mau ke belakang
alias ke toilet atau mau solat memang gantian. Soalnya, namanya pemeriksaan
begini nggak ada yang tau jam berapa selesainya kan. Nah biar nggak ketinggalan
kalo sewaktu-waktu ini narsum keluar kan, kita biasanya titip mic ke anak TV lain (saran ini juga saya
dapat dari Mba Dera, reporter senior banget buat saya hahaha). Kebetulan saya
tadi udah solat langsung pas masuk Dhuhur, jadi sekarang giliran temen Kompas
dan MNC yang pamit solat.
Nggak taunya,
si Forum HMI ini datang dan kita sama-sama mau ambil sound bite-nya dia. Setelah pada posisi seperti tadi (alias di
tangga tapi bedanya saya mencari posisi yang lebih pewe lagi buat lutut saya),
anak tvOne pegang mic 3, punya dirinya sendiri, Kompas dan MNC. Karena dia posisinya dekat dengan saya, saya tawarkan untuk berbagi pegang. Akhirnya saya pegang 2,
punya tv saya dan MNC. Ya jelas, pegelnya double
hahaha.
Tapi untuk
menguranginya, saya coba-coba trik biar pegelnya nggak begitu berasa misal
gantian kanan kiri atau pegang dengan kedua tangan. Atuhlah tangan saya
panjangnya segini aja sih emang ya, terus diledekin sama kameramennya MNC yang
terus disautin sama Iki. Nggak, Iki nggak bela saya, tapi ikut ngeledek. Mereka
bener bener mencairkan suasana banget deh pokonya hari itu haha.
Another Failed Live on Tape
Another Failed Live on Tape
Sampai
memasuki waktu Ashar, Buni Yani belum juga keluar. Sekitar jam setengah 4, saya
kembali pamit solat dan setelah itu ada arahan dari kantor untuk balik kalo
sampe jam 4, pemeriksaannya belum kelar. Karena tim penguji dan penilai (halah
namanya haha) sempat meminta saya untuk buat Live on Tape (LOT), akhirnya saya bilang ke Iki sambil nunggu jam
4, saya mau latihan buat LOT.
Semua sudah on set, sudah terbayang apa yang mau
disampaikan, poin-poin juga sudah saya tulis di notes kecil yang saya bawa. Tapi rupanya, ngomong depan kamera
(setelah di-record ya) nggak semudah
pas latihan. Alhasil, percobaan pertama saya menghasilkan 13 kali take dan itupun failed semua. Apalagi pas take terakhir
tau-tau Buni Yani keluar. Refleks saya dan Iki langsung lari ke arah rombongan
reporter dan kameramen sudah siap
sedia.
Usai sudah
semua dipaparkan Buni Yani dan kuasa hukumnya dengan lugas. Kali ini posisi
saya enak karena nggak bersimpuh dan bisa mengajukan pertanyaan pula. Selesai
Iki nawarin lagi mau buat LOT atau nggak yang kemudian saya jawab, next time aja deh hahaha. Mendung banget
soalnya pas selesai wawancara Buni Yani. Terbukti, pas udah di mobil, hujan
badai sampai jalanan nggak keliatan jelas. Iya tau, saya masih utang buat LOT
iya.
Semuanya gagal pemirsaaaaah jadi maafkan muka kurang kontrol bhay! |
Sambil jalan
pulang ke kantor sambil time code,
saya mengamati apa yang kurang dan mengapa LOT saya gagal. Rupanya itu karena
kantung mata dan mata panda saya nggak nyantai. Hahaha bukan deng. Jadi lebih
kepada karena belum terbiasa dan memang kurang latihan sepertinya. Harus banyak
berguru sepertinya hemmm.
Tapi saya
akui, hari ini seru walaupun dilepas sendirinya begitu mendadak. Enaknya, saya
jadi lebih bebas berkreasi dan benar-benar ngerasa ‘ini kewajiban saya dan saya
harus bisa dapet liputan bagus berimbang’. Apalagi pas tau, liputan ini
ditayangin di segmen 1 dan kata korlip ‘jangan sampe lolos’. Semangat dapetin
liputan bagus harus bisa ngalahin kejiperan
pertama kali jalan sendirian ini. But
well, I’ve got new experience, dimana doorstop
interview bener-bener hal baru buat saya (selama ini kalo ikut liputan yang
ketemu narsumnya sendiri alias udah janjian). Seru!
Cerita ini
nggak akan berhenti sampai disini. Pasti masih akan ada cerita cerita lainnya
karena uji coba ini belum berakhir (try
out ujian nasional kali ah). Entah jadi apa ke depannya, pasti ilmu ini akan
berguna. Ambil positifnya aja coy! Haha. Jangan bosan dengar cerita saya ya!
InsyaAllah ceritanya yang lucu lucu kok haha.
XOXO!
Za
Bagus Zha...aku jadi ada gambaran kerjaan wartawan ngapain nyodok2 depan pintu wwkkw. Sempet mikir juga soal mic berat itu...ternyata bener yak hahaha.
ReplyDeleteAlhamdulillah Mba Nayy hehe iya bener banget emang apalagi kalo posisinya nyodorin mic ke atas itu lebih berasa beratnya hehe
Delete