STOP BEING 'ONE CLICK KILLER'

9:55 PM Nova Zakiya 1 Comments

Di zaman secanggih ini, nampaknya ungkapan ‘Mulutmu Harimaumu’ terasa kurang lengkap. Alangkah lebih berasa maknanya jika ditambah dengan kata ‘Jarimu’. Ya, saat ini, hanya dengan satu jari, orang tak hanya bisa menyebarkan informasi tetapi juga kebencian yang bisa menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.
Betul sekali, saya berbicara tentang peran media sosial yang saat ini terasa lebih panas (atau hanya perasaan saya saja ya?). Media sosial sudah tidak sesejuk di awal kemunculannya (emang pernah adem?). Apalagi jika berdekatan dengan event pemilihan pemimpin sekelas Pilkada dan Pilpres, media sosial sudah jauh dari kata damai. Black campaign dimana-mana, disusul dengan postingan bermuatan hate speech.
Dan hawa-hawa panas tersebut sangat berasa beberapa hari belakang ini. Oooh tentu tidak, saya tidak akan berbicara mengenai tujuan aksi 4 November, karena saya akui, ilmu saya belum seberapa. Selain itu, kadar iman dan pengetahuan seseorang yang berbeda-beda, akan berakibat pada sampainya pesan yang berbeda pula. Hahaha.
Photo credit : citygirlsearching.com
APA ITU MEDIA SOSIAL?
Baiklah, mari kita mulai membicarakan tentang sepak terjang si media sosial. Seperti yang kita tahu, media sosial adalah sebuah media berbasis daring (online) yang bisa menghubungkan para penggunanya dimanapun berada. Kalau dulu zaman saya masih putih biru, media sosial paling beken adalah Friendster (2002). Media sosial ini sungguh booming pada masanya walaupun ada Blogger yang lebih dulu muncul di tahun 1999. Apalagi dipake buat kepo-in gebetan (kemudian terkenang haha).
Lalu bermunculan lah media-media sosial lainnya, semacam MySpace (2003), Facebook (2004), Twitter (2006), Instagram (2010), Google+ (2011), Path (2013) dan masih banyak yang lainnya. Facebook ini hampir serupa sama Friendster, kita bisa upload foto, memberi komentar ke teman kita, menambah teman, lokasi, dan sebagainya. Sepertinya, media sosial ini menjadi satu media yang tak lekang oleh zaman dan masih digunakan hingga sekarang. Facebook juga diakses oleh semua orang tak peduli berapapun usianya. 
Sementara Twitter yang hanya bisa digunakan untuk update status sebanyak 140 karakter ini dan juga Instagram serta Path yang mostly digunakan oleh anak muda.

MEDIA SOSIAL DI ZAMAN SEKARANG
Sayangnya, tak banyak orang yang bijak menggunakan media sosial. Masih ingat dengan kejadian Bom Thamrin yang sempat menghebohkan banyak orang karena dibilang ada juga bom di Palmerah dan di Senayan? Padahal kabar tersebut hanya kabar burung belaka alias tidak terbukti kebenarannya (setelah dicek oleh teman-teman di lapangan). Namun pesan-pesan di media sosial ini berhasil membuat resah warga Jakarta kala itu.
Tak ikut membagi via tombol share atau broadcast via aplikasi pesan instan rasanya tidak ‘kekinian’. Jadi banyak orang latah medsos karena pengen disebut kekinian (kalau dari kacamata saya) alias mengikuti perkembangan berita di masa kini. Sayangnya, seringkali yang disebar adalah berita hoax dan fitnah. Mereka latah share sesuatu tapi tidak dicek dulu kebenarannya. Contohnya? Yaitu latah medsos yang dilakukan saat kasus bom Thamrin.
Photo credit : www.architecturendesign.net
Lalu sekarang, di tengah masa kampanye Pilkada DKI Jakarta, beberapa media sosial sudah tidak sehat untuk dibaca. Kewarasan kita ditentukan oleh dengan siapa kita berteman, baik di Facebook, Twitter, Instagram atau Path (yang paling sering membagikan berita-berita Pilkada). Semua pendukung dari masing-masing kubu saling serang, membuka aib, bahkan membawa isu SARA. Penyebarannya? Nggak usah ditanya, cepat sekali, apalagi soal SARA. Satu orang posting, lalu temannya share, kemudian temannya teman si orang itu share, dan begitulah seterusnya hingga tak terbendung.
Sekali lagi saya tidak berbicara tentang Pilkada, tetapi tentang penggunaan media sosial yang saya rasa kurang bijak.
Coba hitung ada berapa banyak konten tentang isu Pilkada yang ada di feed media sosial kalian? Dan coba tanyakan pada diri sendiri apakah kalian gerah melihat itu semua? Mungkin tidak menjadi masalah jika berita yang di-share berasal dari media yang terpercaya. Lalu bagaimana dengan berita-berita yang dibuat oleh media yang bahkan namanya terasa asing dan isinya cenderung provokatif semua? Dan kini, orang lebih cenderung untuk membaca berita dari media online daripada televisi (faktor waktu dan kemudahan akses salah duanya).
Photo credit : www.architecturendesign.net
Jika jawabannya iya, mungkin ini saatnya kalian meng-unfriend atau unshare mereka demi kewarasan pikiran. Hahahaha serius, ini yang saya lakukan dalam beberapa hari terakhir, karena saya tidak ingin ikut berpikiran atau bertingkah negatif. Jadi yang kena unshare atau unfriend di dunia maya, jangan jadi benci di dunia nyata ya. Please ojok baper karena kita hidup di dunia nyata hahaha.
Balik lagi, dari feeds hasil share yang belum jelas kebenarannya ini, kadang jadi menyusahkan orang lain karena mengandung fitnah. Seperti yang terjadi dengan seorang kameramen Kompas TV, Muhammad Guntur yang apes kena fitnah di media sosial saat meliput aksi damai kemarin. Si penyebar yang tinggal di Mekkah (jauh ya) memang sudah meminta maaf karena unggahannya. Sayangnya berita itu sudah terlanjur tersebar dimana-mana karena orang tak berhenti share (saya masih sempat melihatnya di Instagram padahal itu si pelaku sudah meminta maaf). 
Pesan saya, bijaklah dalam bermedia sosial. Karena info apapun yang ada di internet, sekali diunggah, akan tetap ada di internet meski telah dihapus oleh si empunya info. Sebelum sharing sesuatu, ada baiknya cek dulu kebenarannya, jangan terbawa emosi langsung sebar. Ini sama sekali tidak bijak, apalagi jika kalian adalah orang terpelajar. Ingat, ada UU ITE yang mengawasi kita dalam bermedia sosial. Saya yakin, Indonesia akan jauh lebih damai saat kita bisa bijak membagikan informasi di media sosial.

Salam damai,

Zakia

1 comment: