Dear Dudes, A Catcall isn't A Compliment!
Tepat semalam, saya membuat polling di Instagram Story saya. Tentang apakah boleh kita ‘nyumpahin’
orang yang suka catcalling. Karena kegeraman saya sudah di tahap kesel banget karena ini terjadi berulang kali (yang terbaru, pelakunya bergerombol kerja di dekat tempat tinggal saya), hanya saja saya merasa masih tidak bisa untuk meluapkan langsung dengan menegur
orang-orang yang suka catcalling itu.
Catcalling itu Apa sih Emang?
Noun
1 A shrill whistle or shout of disapproval made at a public meeting or performance.1.1 A loud whistle or a comment of a sexual nature made by a man to a passing woman.
Mudahnya seperti ini, segala bentuk siulan, panggilan,
teriakan, ejekan dengan nada melecehkan atau mengandung kata-kata yang bersifat
seksual, itu termasuk catcalling. Ini
termasuk salah satu bentuk pelecehan seksual berupa pelecehan isyarat yang
pernah saya tulis di postingan sebelumnya disini. Seringnya, catcalling terjadi di jalanan, disertai
dengan main mata atau kerlingan yang nakal atau lebih parahnya, disertai dengan
sentuhan fisik.
Nggak bisa dipungkiri, kejadian-kejadian seperti ini sering banget
dialami oleh sebagian besar wanita, baik saat dia sendiri maupun bergerombol
dengan teman-teman. Tentu saja, perlakuan ini menimbulkan rasa tidak nyaman,
tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin saja merasa terancam
keselamatannya.
Terus, kalau memberi salam gimana? Kayak ‘Assalamu’alaikum cantik’ oleh orang yang tidak dikenal? Saya pernah
menanyakan hal ini kepada ustad di sebuah kajian. Beliau menjawab, dari niat
(salam)-nya saja itu sudah tidak benar. Ya mungkin di bagian ini ada yang
menganggap bahwa salam adalah doa, tapi kalau saya pribadi geram dengan hal
tersebut karena mengandung nada yang melecehkan.
Senada dengan kalimat di atas, beberapa bilang kalau kita
dipanggil ‘cantik’, ‘sayang’ atau ‘seksi’ di jalanan oleh orang yang tidak
dikenal, itu berarti pujian. Like seriously?
Ironisnya, masih banyak yang menganggap hal-hal seperti ini
sebagai bahan bercandaan. Sedihnya lagi, orang-orang di lingkungan saya pun
masih banyak yang melakukan hal seperti ini.
Catcalling Bukan Perkara Baju atau Make Up
Lalu ada beberapa pihak yang kemudian berkomentar, ‘bajunya
kali yang mengundang’ atau ‘dandan lo aja kali’. Guys, please, kita ubah mindset-nya
yuk, ini bukan perkara baju apa yang wanita kenakan, atau dandanan yang seperti
apa yang bikin para pria itu menyiulkan atau mengucapkan hal-hal yang tidak
pantas. Kenapa saya bisa berbicara seperti ini?
Sebuah pameran di Belgia memamerkan baju-baju terakhir yang dikenakan korban pelecehan seksual. Bajunya biasa aja kan? | Sumber : Reuters |
Pertama, saya sering sekali mendapat catcalling ketika berada di jalan, baik saat berangkat atau pulang
kerja, atau ketika saya pergi ke suatu tempat. Sendiri, maupun bareng sama
teman-teman saya. Kalau ditanya soal baju yang saya kenakan, saya sudah dua
tahun belakangan ini mengurangi baju yang ketat (sudah mulai belajar mengenakan
rok atau celana-celana kulot). Saya berjilbab juga. Kalau saya baca berita pelecehan di media media online juga beberapa korbannya menggunakan pakaian yang tertutup (bahkan beberapa juga berjilbab). Jadi kalau karena baju,
saya kira bukan.
Kemudian, kalau ditanya soal make up yang saya gunakan, saya jarang menggunakan full make up, apalagi kalau hanya ke
kantor. Bahkan beberapa kali saya memilih untuk dandan setibanya saya di
kantor. Pun saat hari libur dan saya harus keluar (misal ke minimarket atau
beli makan dekat kosan), saya paling malas menggunakan make up. Pake day cream aja
malah enggak. Jadi dua asumsi ini jelas gugur dong? Masih menyalahkan pihak
wanita juga? Nggak coba ditanya apa yang ada di otak para pria pelaku catcalling ini yang emang pada dasarnya ngeres dan masih menganggap wanita sebagai objek?
Bicara soal Angka Terjadinya Pelecehan di Jalan
Tak hanya di Indonesia, pelecehan yang terjadi di jalanan ini
juga terjadi di Amerika. Sebuah organisasi non-profit bernama Stop Street
Harassment merilis laporan yang berjudul Unsafe and Harassed in Public Spaces: A National Street Harassment Report tahun 2014.
Dalam laporan tersebut, pelecehan seksual di jalanan seperti catcalling ini menjadi salah satu isu
yang krusial di Amerika Serikat. Sekitar 65 persen wanita dilaporkan pernah
mengalami pelecehan seksual di jalan, dimana 57 persen mengalami pelecehan
secara verbal sementara 41 persennya mengalami pelecehan yang disertai tindakan
fisik, seperti sentuhan, diikuti, atau bahkan dipaksa untuk melakukan tindakan
seksual.
Pelecehan ini tak hanya dialami oleh wanita saja, tetapi juga
pria, namun persentasenya lebih rendah yakni 25 persen. Dan mereka mengaku tak
hanya mendapatkan pelecehan ini sekali, tapi lebih dari sekali bahkan beberapa
diantaranya mendapatkan pelecehan semacam ini setiap hari.
Sementara di Indonesia, data dari Komnas Perempuan menyebutkan
bahwa hanya 268 kasus pelecehan seksual di jalanan yang dilaporkan ke polisi,
NGO atau Komnas Perempuan itu sendiri. Dan jumlah ini bukanlah jumlah keseluruhan. Sebagian memilih bungkam dengan alasan malu, takut atau pesimis laporannya akan diproses karena tidak ada bukti pelecehan.
Kalau kalian ingat, di bulan Januari 2018 juga, ada kasus pelecehan seksual di jalan, dimana pelakunya mengendarai sepeda motor lalu ‘mepet’ ke wanita (dan dia berjilbab) dan memegang bagian tubuh wanita tersebut, lalu kabur. Jadi masih mikir bahwa catcalling dan street harassment itu hal yang remeh temeh?
Kalau kalian ingat, di bulan Januari 2018 juga, ada kasus pelecehan seksual di jalan, dimana pelakunya mengendarai sepeda motor lalu ‘mepet’ ke wanita (dan dia berjilbab) dan memegang bagian tubuh wanita tersebut, lalu kabur. Jadi masih mikir bahwa catcalling dan street harassment itu hal yang remeh temeh?
Demi apapun, catcalling
dan segala anakannya ini bikin para korban terganggu secara psikis dan ini
sungguh melelahkan.
“Semua perempuan yang saya wawancarai dalam penelitian saya mengaku mengubah rute, tindak tanduk, transportasi, atau pakaian untuk menghindari street harassment.” - Laura Beth Nielsen (profesor bidang Sosiologi, Northwestern University)
Saat dihadapkan pada situasi tersebut, sudah pasti kita geram
dan pengen marah. Tapi di sisi lain, kita merasa takut untuk menegur. To be honest, itulah yang sering saya
alami. Saya sangat marah kalau mendapat siulan siulan dan panggilan bernada
melecehkan tersebut, demi apapun saya ingin memarahi mereka. Tapi di sisi lain,
sebagai pendatang, saya juga menimbang apakah yang saya lakukan ini bisa
menjamin keselamatan saya ke depannya.
Teman saya, Mba Septa, selalu menasehati untuk menegur orang-orang
tersebut, dengan harapan mereka tahu bahwa hal ini salah dan tidak akan
mengulanginya lagi. Karena jika kita hanya diam dan terus dibiarkan, para pria
yang kurang ‘berpendidikan’ (secara moral) ini tidak akan menyadari bahwa hal yang mereka
lakukan itu salah. Yang ada, kejadian semacam ini akan terus menerus berulang. Mau lebih ekstrim? Selain menegur, foto aja pelaku catcalling lalu upload di media sosial. Sekarang ini sudah ada beberapa akun instagram yang memiliki gerakan untuk melawan catcalling. Perlu diingat, bahwa kita menegur perilaku mereka, bukan menegur personal orangnya.
Because if we don't stand up for ourselves, who else will?
XOXO!
Za
PS.
Semoga ke depannya jika saya mengalami hal demikian, saya berani untuk melawan! Dan juga postingan ini berawal dari uneg uneg pribadi ya. Kalau saya pernah bilang, sebenarnya perbuatan termasuk pelecehan atau bukan itu tergantung dengan si penerimanya. Jika si penerima merasa wajar, ya bukan pelecehan. Tapi kalau si penerima merasa terganggu, itu sudah termasuk pelecehan. Bukan bermaksud menggurui, hanya berbagi saja untuk Indonesia yang lebih aman dan beradab.
0 comments: