[REVIEW BUKU] : AMBA - LAKSMI PAMUNTJAK
Identitas Buku
Judul : Amba – Sebuah Novel
Penulis : Laksmi Pamuntjak
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Cetakan ketujuh edisi cover
baru, Januari 2018
Jumlah Halaman : 577 halaman
Sinopsis
Tahun 2006: Amba pergi ke Pulau Buru. Ia mencari
orang yang dikasihinya, yang memberinya seorang anak di luar nikah. Laki-laki
itu Bhisma, dokter lulusan Leipzig, Jerman Timur, yang hilang karena ditangkap
pemerintah Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru. Ketika kamp tahanan politik itu
dibubarkan dan para tapol dipulangkan, Bhisma tetap tak kembali.
Novel berlatar sejarah ini mengisahkan
cinta dan hidup Amba, anak seorang guru di sebuah kota kecil Jawa Tengah. “Aku
dibesarkan di Kadipura. Aku tumbuh dalam keluarga pembaca kitab-kitab tua.” Tapi
ia meninggalkan kotanya. Di Kediri ia bertemu Bhisma. Percintaan mereka
terputus dengan tiba-tiba di sekitar Peristiwa G30S di Yogyakarta. Dalam sebuah
serbuan, Bhisma hilang selama-lamanya. Baru di Pulau Buru, Amba tahu kenapa
Bhisma tak kembali.
Setelah membaca...
Saya membeli novel ini atas rekomendasi
seorang teman ketika saya merasa kehabisan bahan bacaan. Teman yang tahu selera
bacaan saya, yang seringnya berlatar belakang peristiwa sejarah itu langsung
memberitahu buku Amba karya Laksmi Pamuntjak ini. Alhasil begitu menemukannya
di salah satu rak Fiksi di Gramedia Grand Indonesia (favorit saya), saya baca
dulu sinopsisnya dan oke, langsung saya bawa ke kasir.
Novel ini memiliki alur yang maju mundur. Berputar
di kejadian tahun 1956 – 1965 hingga 2006. Masa lalu dan saat ini dengan tokoh utama
perempuan bernama Amba. Diawali dengan sepenggal kisah pencarian Amba terhadap
kekasihnya Bhisma di Pulau Buru yang ternyata ia dapati dalam keadaan sudah
meninggal dan juga sedikit perkenalan dengan pemuda Ambon bernama Samuel
Lawerissa.
Amba sendiri dibesarkan dalam keluarga Jawa
yang penuh kasih sayang, kesetiaan, sopan santun dan pengorbanan. Bapaknya penyuka
kitab-kitab Jawa lama seperti Wedhatama dan Serat Centhini. Nama Amba dan kedua
adik kembarnya, Ambika dan Ambalika, juga diambil dari kisah-kisah pewayangan
Mahabharata. Sesungguhnya Amba dalam Cerita Besar itu adalah seorang perempuan
yang tersia-sia dan mendendam, tapi ayahnya memiliki alasan lain, bahwa
Amba-lah yang kemudian membawa akhir Perang Bharatayudha. Kejayaan Amba akan
terbukti kemudian.
“Seorang perempuan seharusnya tak menerima begitu saja tafsir umum atas namanya. Kamu jangan sampai terjerat oleh apa yang dibayangkan orang. kamu harus bisa mengatasinya dan memberi makna sendiri kepada namamu.” – Sudarminto, Bapak Amba (p.107)
Kehadiran tokoh Salwa (Salwani Munir) dan
Bhisma (Bhisma Rashad) dalam hidup Amba pun tak ubahnya seperti cerita di kitab
Mahabharata tersebut. Kedua orangtua Amba yang bertemu dengan Salwa di UGM
membuat mereka langsung tertarik dan menjodohkannya dengan Amba, meski
berkali-kali ibu Amba, Nuniek, mengingatkan kepada Amba bahwa ini bukan seperti
kisah pewayangan karena keduanya bukan wayang. Amba yang awalnya tidak terlalu
memikirkan akhirnya juga tak berkutik ketika bertemu dengan Salwa karena sosok
Salwa yang baik, yang ngemong.
Meski pada akhirnya hubungan keduanya tak
berjalan mulus seperti yang orangtua Amba harapkan. Amba bertemu dengan Bhisma,
seorang dokter di rumah sakit tempat Amba bekerja paruh waktu sebagai
penerjemah di Kediri. Disitulah kisah Amba dan Bhisma terjalin dengan begitu…
rumit mungkin kata yang paling tepat. Kisah cinta yang bisa dikatakan sebentar
karena mereka harus terpisah ketika acara yang mereka datangi ‘digerebek’ oleh tentara karena dianggap
berhubungan dengan PKI yang saat itu masih sensitif pasca kejadian G30S.
Pada akhirnya, Amba tidak bersama keduanya,
tidak bersama Salwa juga tidak bersama Bhisma. Greget sih tapi ya itu bagian
emosinya. Sebenarnya di hampir semua bab muncul emosi yang berbeda-beda sih,
mulai dari senang, sedih, jatuh cinta, takut yang tak jarang bikin keluar air
mata (saya ya).
“Para resi boleh saja bersikeras bahwa cinta sejati membutuhkan kerendahhatian, tapi ia harus mengakui bahwa pada akhirnya tak ada kebajikan yang bisa didapatkan dari sebuah hubungan ketika satu pihak lebih mencintai pihak lainnya,” (p.353)
Perjalanan mencari Bhisma setelah 41 tahun
berselang juga memiliki keseruan tersendiri, bertemu dengan orang-orang yang
mengenal Bhisma, bercerita tentang kenangannya bersama Bhisma di Tefaat (Tempat
Pemanfaatan), meski klimaksnya bagi saya adalah ketika membaca surat-surat dari
Bhisma yang dikubur di bawah pohon Meranti.
Membaca novel ini memberi gambaran seperti
apa kehidupan orang-orang dulu, yang pemerintah sebelumnya menyebutnya sebagai
tahanan politik atau tapol, di Pulau Buru. Dipaksa bekerja keras, terkadang
disiksa, membuka lahan, atau mengerjakan apapun yang diperintahkan oleh tentara
seharian. Terbukti komunis atau tidak, tidak ada bedanya. Meski pada akhirnya
mereka dibebaskan untuk pulang ke daerahnya masing-masing, namun mereka tetap
menyandang istilah ‘eks-tapol’ yang sangat berpengaruh di kehidupan mereka.
Membacanya memberi pengetahuan tersendiri
dan baru bagi saya. Sepertinya saya belum punya novel yang setting-nya tapol di Pulau Buru. Inilah mengapa saya lebih suka
membaca novel yang berlatar belakang sejarah, khususnya sejarah di Indonesia.
Karena pada dasarnya, belajar bisa darimana saja bukan? Hehehe.
Tapi meski terdengar agak berat, bacanya
sih nggak terlalu bikin mikir banget kalau buat saya. Kaya dari setiap kalimat,
setiap bab, setiap kejadian, mudah aja gitu tergambar di otak, ‘oh begini nih
kejadiannya’. Kita benar-benar bebas berimajinasi dengan membacanya, bagaimana
suasana mencekam dianggap komunis, bagaimana hidup dalam ketakutan dan
ketidakpastian, dan berbagai kejadian lainnya.
Bab yang menandakan hilangnya Bhisma. Tidak ada cerita karena Bhisma hilang tanpa ada kabar |
Sedikit saya kutipkan beberapa kutipan
kalimat yang menurut saya menarik dari buku ini,
Aneh, memang : selalu ada yang membuat
terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan
melankolinya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal (p.27)
Tidak, kau jangan mau jadi bulan-bulanan
sistem yang korup ini, kau harus melakukan segalanya tanpa bantuan polisi, dan
percaya pada instingmu sendiri (p.45)
Orang yang cemburu adalah orang yang nggak
pede (p.76)
Jangan minta maaf. Nggak ada yang lebih
menyedihkan di dunia ini daripada permintaan maaf yang nggak pada tempatnya
(p.82)
Di satu sisi kecantikan adalah anugerah, ia
pemberi hidup, menyanjung. Di sisi lain ia pembawa mala, terkutuk, menakutkan (p.86)
Orang bisa berbeda pendapat tapi siapapun
butuh teman (p.88)
Perkawinan tak banyak bedanya dengan
politik. Lewat ibu ia belajar: perkawinan adalah tahu bagaimana membaca
perubahan, tahu kapan menyerang kapan mundur, kapan memulai kapan berhenti,
kapan berbicara kapan mendengar (p.110)
Politik memang bukan tentang apa yang
benar. Politik adalah bagaimana kita bisa salah dengan benar (p.111)
Perjalanan : melatih diri untuk tetap
menjaga jarak seraya berbagi begitu banyak (p.181)
Meskipun suara kecil di telinganya
terngiang-ngiang, hati-hati, jangan serahkan hidupmu pada orang-orang yang tak
kau kenal, apalagi yang mengaku jatuh cinta padamu (p.276)
Saya sih suka dan merekomendasikan buku ini
bagi kalian yang memang suka novel fiksi yang lebih kompleks dengan latar
belakang sejarah. Bagi saya, nilainya 9 dari 10. Cus mampir ke toko buku! Selamat
membaca ya! Hihihi
XOXO!
Za
0 comments: