[REVIEW BUKU] : AMBA - LAKSMI PAMUNTJAK

10:29 PM Nova Zakiya 0 Comments



Identitas Buku
Judul : Amba – Sebuah Novel
Penulis : Laksmi Pamuntjak
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Cetakan ketujuh edisi cover baru, Januari 2018
Jumlah Halaman : 577 halaman

Sinopsis
Tahun 2006: Amba pergi ke Pulau Buru. Ia mencari orang yang dikasihinya, yang memberinya seorang anak di luar nikah. Laki-laki itu Bhisma, dokter lulusan Leipzig, Jerman Timur, yang hilang karena ditangkap pemerintah Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru. Ketika kamp tahanan politik itu dibubarkan dan para tapol dipulangkan, Bhisma tetap tak kembali.
Novel berlatar sejarah ini mengisahkan cinta dan hidup Amba, anak seorang guru di sebuah kota kecil Jawa Tengah. “Aku dibesarkan di Kadipura. Aku tumbuh dalam keluarga pembaca kitab-kitab tua.” Tapi ia meninggalkan kotanya. Di Kediri ia bertemu Bhisma. Percintaan mereka terputus dengan tiba-tiba di sekitar Peristiwa G30S di Yogyakarta. Dalam sebuah serbuan, Bhisma hilang selama-lamanya. Baru di Pulau Buru, Amba tahu kenapa Bhisma tak kembali.

Setelah membaca...
Saya membeli novel ini atas rekomendasi seorang teman ketika saya merasa kehabisan bahan bacaan. Teman yang tahu selera bacaan saya, yang seringnya berlatar belakang peristiwa sejarah itu langsung memberitahu buku Amba karya Laksmi Pamuntjak ini. Alhasil begitu menemukannya di salah satu rak Fiksi di Gramedia Grand Indonesia (favorit saya), saya baca dulu sinopsisnya dan oke, langsung saya bawa ke kasir.
Novel ini memiliki alur yang maju mundur. Berputar di kejadian tahun 1956 – 1965 hingga 2006. Masa lalu dan saat ini dengan tokoh utama perempuan bernama Amba. Diawali dengan sepenggal kisah pencarian Amba terhadap kekasihnya Bhisma di Pulau Buru yang ternyata ia dapati dalam keadaan sudah meninggal dan juga sedikit perkenalan dengan pemuda Ambon bernama Samuel Lawerissa.
Amba sendiri dibesarkan dalam keluarga Jawa yang penuh kasih sayang, kesetiaan, sopan santun dan pengorbanan. Bapaknya penyuka kitab-kitab Jawa lama seperti Wedhatama dan Serat Centhini. Nama Amba dan kedua adik kembarnya, Ambika dan Ambalika, juga diambil dari kisah-kisah pewayangan Mahabharata. Sesungguhnya Amba dalam Cerita Besar itu adalah seorang perempuan yang tersia-sia dan mendendam, tapi ayahnya memiliki alasan lain, bahwa Amba-lah yang kemudian membawa akhir Perang Bharatayudha. Kejayaan Amba akan terbukti kemudian.
“Seorang perempuan seharusnya tak menerima begitu saja tafsir umum atas namanya. Kamu jangan sampai terjerat oleh apa yang dibayangkan orang. kamu harus bisa mengatasinya dan memberi makna sendiri kepada namamu.” – Sudarminto, Bapak Amba (p.107)
Kehadiran tokoh Salwa (Salwani Munir) dan Bhisma (Bhisma Rashad) dalam hidup Amba pun tak ubahnya seperti cerita di kitab Mahabharata tersebut. Kedua orangtua Amba yang bertemu dengan Salwa di UGM membuat mereka langsung tertarik dan menjodohkannya dengan Amba, meski berkali-kali ibu Amba, Nuniek, mengingatkan kepada Amba bahwa ini bukan seperti kisah pewayangan karena keduanya bukan wayang. Amba yang awalnya tidak terlalu memikirkan akhirnya juga tak berkutik ketika bertemu dengan Salwa karena sosok Salwa yang baik, yang ngemong.
Meski pada akhirnya hubungan keduanya tak berjalan mulus seperti yang orangtua Amba harapkan. Amba bertemu dengan Bhisma, seorang dokter di rumah sakit tempat Amba bekerja paruh waktu sebagai penerjemah di Kediri. Disitulah kisah Amba dan Bhisma terjalin dengan begitu… rumit mungkin kata yang paling tepat. Kisah cinta yang bisa dikatakan sebentar karena mereka harus terpisah ketika acara yang mereka datangi ‘digerebek’ oleh tentara karena dianggap berhubungan dengan PKI yang saat itu masih sensitif pasca kejadian G30S.
Pada akhirnya, Amba tidak bersama keduanya, tidak bersama Salwa juga tidak bersama Bhisma. Greget sih tapi ya itu bagian emosinya. Sebenarnya di hampir semua bab muncul emosi yang berbeda-beda sih, mulai dari senang, sedih, jatuh cinta, takut yang tak jarang bikin keluar air mata (saya ya).
“Para resi boleh saja bersikeras bahwa cinta sejati membutuhkan kerendahhatian, tapi ia harus mengakui bahwa pada akhirnya tak ada kebajikan yang bisa didapatkan dari sebuah hubungan ketika satu pihak lebih mencintai pihak lainnya,” (p.353)
Perjalanan mencari Bhisma setelah 41 tahun berselang juga memiliki keseruan tersendiri, bertemu dengan orang-orang yang mengenal Bhisma, bercerita tentang kenangannya bersama Bhisma di Tefaat (Tempat Pemanfaatan), meski klimaksnya bagi saya adalah ketika membaca surat-surat dari Bhisma yang dikubur di bawah pohon Meranti.
Membaca novel ini memberi gambaran seperti apa kehidupan orang-orang dulu, yang pemerintah sebelumnya menyebutnya sebagai tahanan politik atau tapol, di Pulau Buru. Dipaksa bekerja keras, terkadang disiksa, membuka lahan, atau mengerjakan apapun yang diperintahkan oleh tentara seharian. Terbukti komunis atau tidak, tidak ada bedanya. Meski pada akhirnya mereka dibebaskan untuk pulang ke daerahnya masing-masing, namun mereka tetap menyandang istilah ‘eks-tapol’ yang sangat berpengaruh di kehidupan mereka.
Membacanya memberi pengetahuan tersendiri dan baru bagi saya. Sepertinya saya belum punya novel yang setting-nya tapol di Pulau Buru. Inilah mengapa saya lebih suka membaca novel yang berlatar belakang sejarah, khususnya sejarah di Indonesia. Karena pada dasarnya, belajar bisa darimana saja bukan? Hehehe.
Tapi meski terdengar agak berat, bacanya sih nggak terlalu bikin mikir banget kalau buat saya. Kaya dari setiap kalimat, setiap bab, setiap kejadian, mudah aja gitu tergambar di otak, ‘oh begini nih kejadiannya’. Kita benar-benar bebas berimajinasi dengan membacanya, bagaimana suasana mencekam dianggap komunis, bagaimana hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian, dan berbagai kejadian lainnya.
Bab yang menandakan hilangnya Bhisma. Tidak ada cerita karena Bhisma hilang tanpa ada kabar
Sedikit saya kutipkan beberapa kutipan kalimat yang menurut saya menarik dari buku ini,
Aneh, memang : selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan melankolinya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal (p.27)
Tidak, kau jangan mau jadi bulan-bulanan sistem yang korup ini, kau harus melakukan segalanya tanpa bantuan polisi, dan percaya pada instingmu sendiri (p.45)
Orang yang cemburu adalah orang yang nggak pede (p.76)
Jangan minta maaf. Nggak ada yang lebih menyedihkan di dunia ini daripada permintaan maaf yang nggak pada tempatnya (p.82)
Di satu sisi kecantikan adalah anugerah, ia pemberi hidup, menyanjung. Di sisi lain ia pembawa mala, terkutuk, menakutkan (p.86)
Orang bisa berbeda pendapat tapi siapapun butuh teman (p.88)
Perkawinan tak banyak bedanya dengan politik. Lewat ibu ia belajar: perkawinan adalah tahu bagaimana membaca perubahan, tahu kapan menyerang kapan mundur, kapan memulai kapan berhenti, kapan berbicara kapan mendengar (p.110)
Politik memang bukan tentang apa yang benar. Politik adalah bagaimana kita bisa salah dengan benar (p.111)
Perjalanan : melatih diri untuk tetap menjaga jarak seraya berbagi begitu banyak (p.181)
Meskipun suara kecil di telinganya terngiang-ngiang, hati-hati, jangan serahkan hidupmu pada orang-orang yang tak kau kenal, apalagi yang mengaku jatuh cinta padamu (p.276)

Saya sih suka dan merekomendasikan buku ini bagi kalian yang memang suka novel fiksi yang lebih kompleks dengan latar belakang sejarah. Bagi saya, nilainya 9 dari 10. Cus mampir ke toko buku! Selamat membaca ya! Hihihi

XOXO!
Za

0 comments: